Senin, 28 September 2015

Hot Mama Part 3


Dua hari berikutnya, Kamis dan Jumat, berlalu seperti hari pertama. Ada sesi pagi hari. Sesi di kamar mandi setelah aku pulang. Sesi malam dan sesi sebelum tidur.

Mama melepas bh saat sesi kamar mandi. Bahkan saat aku berbaring di ranjang, mama akan melepas bh dan menunjukan susunya. Aku meminta hal ini saat sedang sesi ranjang, meski tidak dimulai saat hari aku meminta. Mama terlihat senang terhadap tambahan rangsangan ini. Nikmat rasanya melihat susu mama bergerak – gerak saat mama mengocok kontolku. Mama membiarkan aku menyentuh susunya, namun hanya sebentar hingga kontolku mengeras siap keluar.

Tak terasa sudah seminggu. Hanya beberapa hal yang terjadi selama sesi ini.

Pertama saat sesi kamar mandi, mama selalu menyuruhku agar membersihkan diri dulu. Setelah itu baru kupanggil mama. Saat mama membasuh pantatku, mama selalu menggosok pantatku naik turun. Kurasa mama sengaja, seperti mendapat kesenangan tertentu.

Kedua, sepertinya mama kini lebih santai. Berbeda saat awal disuruh oleh dokter, terlihat gelisah dan tak nyaman. Juga bukan saat sesi berlangsung. Saat bercakap – cakap di rumah pun mama lebih santai dan prilakunya jadi tidak segarang dahulu. Mama jadi sedikit memakai make-up. Rambutnya juga agak terurus.

Mama jadi berubah. Mungkin ini hanya kebetulan, tiada hubungan dengan insiden testisku. Atau bisa jadi berhubungan. Peningkatan suasana hati mama membuatku memikirkan cara agar bisa melangkah semakin pasti untuk sesi – sesi berikut.

Aku sudah ingin mencium dan menghisap susu mama. Juga pantatnya. Tapi aku tak mau melangkah terlalu dini. Firasatku mengatakan mama menikmati kepuasan tertentu dari sesi kami, tapi tak ada buktinya. Aku tak bisa memastikan juga tak mau membuat mama marah yang bisa berujung pada penghentian sesi ini.

Aku masih penasaran kenapa testisku sakit, dan kembali normal setelah beberapa kali keluar. Semoga dokter Tari memberi tahu setelah hasil pengujian ada. Formulir catatan telah di isi mama tanpa ada yang terlewat. Seingatku, dokter Tari bilang hasilnya akan keluar seminggu lagi.

Pada sesi malam sabtu, setelah aku keluar, mama berkata, “kita punya banyak waktu di akhir pekan,” lantas mencium pipiku dan pergi keluar. Setelah mama tiada, aku memikirkan kata – kata mama.

***

Aku bangun dan lihat jam, rupanya jam delapan. Kontolku agak tegang. Mama belum muncul, tidak seperti hari sebelumnya. Lalu aku ingat ini sabtu. Mama biasanya santai di rumah. Aku lalu tidur lagi, berbaring.

“Yusup, bangun nak.”

Aku berbalik dan membuka mata. Mama sedang berdiri sambil memegang gelas.

“Pagi nak,” kata mama sambil senyum.

“Pagi juga mah.”

“Mama rasa sesi pertama bisa dilakukan di kamar mandi.” Mama memberi gelas padaku, “nih minum teh dulu.”

Aku duduk lantas meraih gelas dan minum. Sudah lama mama tak melakukan ini, memberi minum saat membangunkanku. Mungkin ini awal yang baik. Mama ikut duduk di sebelahku.

“Mama mau belanja, mungkin hingga sore. Kamu mau ngapain?”

Aku gak punya rencana, “gak tau. Main mungkin. Kenapa emang?”

“Mama cuma ingin rencanain sesi untuk hari ini,” katanya sambil menatap mataku. “Waktu kita hari ini banyak. Jadi mending manfaatin sebaik mungkin.”

Aku tak paham apa yang dimaksud oleh mama.

“Mama ingin tahu gimana perasaan kamu sekarang, apa membaik? Jujur aja sama mama.”

“Yah...” aku ragu – ragu. “Testis yusup masih sakit.”

“Agak baikan setelah keluar beberapa kali?”

“Iya mah.”

“Kita tunggu saja hasil dari dokter Tari. Hasilnya kalau gak salah keluar senin atau selasa.”

“Iya mah.”

“Baiklah. Kita lihat apa kita bisa dapat sampel lebih di akhir pekan. Agar kamu agak baikan. Maafin mama kemarin gak percaya sama kamu nak.”

“Gak apa – apa mah.” Aku terkejut oleh permintaan maaf mama yang tiba – tiba.

“Panggil mama kalau kamu udah di kamar mandi. Mama beresin dulu di bawah.”

“Iya mah, makasih.”

Mama bangkit berdiri lalu melangkah keluar. Meski memakai daster, pantat mama masih terlihat seksi. Aku minum dan memikirkan apa yang dikatakan mama. Mama rupanya prihatin dan ingin membantuku. Lumayanlah daripada mama sebelumnya, pemarah, pemurung dan jelas tak ramah. Sekarang mama agak mendingan. Suasana hatinya pasti membaik seminggu ini.

Andai aku memiliki penyakit, kuharap dokter bakal memberitahu dan mengobatinya. Tapi tetap, aku berharap ini hanyalah salah satu fase dalam hidupku. Meski testisku sakit, aku menikmati cara pengeluaran peju untuk mengurangi rasa sakitnya.

Aku jadi penasarn tentang lebih banyak waktu yang mama katakan. Sekarang sudah jam setengah sepuluh. Kuputuskan untuk mandi. Aku ingin liat tubuh mama lagi. Aku ke kamar mandi, membersihkan tubuh lantas memanggil mama.

Aku berdiri menunggu mama sambil mengeringkan rambut dengan handuk. Tubuhku tak perlu dikeringkan dulu, karena mama selalu membasuh kontol dan pantatku.

Aku mendengar langkah mama menaiki tangga dan mendekati kamar mandi. Mama mengetuk pintu seperti biasa. “Siap sayang?”

“Iya mah.”

Mama masuk masih memakai daster. Tangannya memegang gelas. Mama menatapku kemudian menatap kontolku. Mama menjilati bibirnya lagi. Kuperhatikan beberapa kali sudah mama melakukan itu, menjilati bibir jika sedang bersamaku.

“Seperti tadi kata mama,” mama menatapku, “kita punya banyak waktu. Karena mama juga belum mandi, biar kita sekali mendayung agar dua tiga pulau terlewati.”

Aku menatap mama mencoba memahami kata – katanya.

Kemudian mama mulai melepas dasternya. Mama benar – benar telanjang. Kulihat selangkangan mama dan kulihat jembutnya. Aku tersipu dibuatnya. Selama melepas daster, mama tak melihatku.

“Kamu udah liat mama setengah telanjang selama beberapa hari ini. Jadi kenapa gak telanjang aja sekalian.”

Mama berdiri di depanku. Aku menatap susunya, kemudian memeknya.

Mama melihat kontolku, “setidaknya kamu udah siap untuk sesi ini.”

Aku menelan ludah. Aku mencoba mengontrol diriku, “iya mah. Yusup siap.”

Mama mulai membasuh kontol dan testisku. “Muter,” lantas aku berputar. Kini mama membasuh punggung dan pantatku. “Siniin sabunnya,” kata mama. Baru kali ini kudengar mama menyuruhku mengambil sabun. Kuraih sabun dan kuberikan pada mama. “Mama bersihin lagi kamu. Coba agak nungging.”

Aku tak percaya pada pendengaranku. Namun begitu aku tetap agak nungging. Mama menyabuni pantatku, menggerakan jari di belahan pantatku. Kemudian menyabuni testisku. Tangan mama kembali menyabuni pantatku. Setelah itu mama kembali membasuh pantatku dan membilasnya hingga bersih.

“Udah. Muter lagi.”

Aku kembali berputar menghadap mama. Mama melihat kontolku yang sudah tak tahan.

“Agar mudah ambil sampel, sebaiknya mama berlutut di depan kamu.”

Mama lantas berlutut, wajahnya sejajar dengan kontolku. Mama mulai membelai kontolku. Aku hampir bisa merasakan dengusan nafas mama di kontolku. Tangan kanan mama ngocok kontolku. Kulihat ke bawah, susu mama bergerak naik turun seirama gerakan tangannya. Sungguh pemandangan yang indah.

“Yusup mau keluar mah,” aku tak tahan. Lagian, siapa bisa tahan dalam keadaan begini?

Mama meraih gelas dengan tangan kiri dan memposisikannya. Tangan kanannya tetap ngocok.

"Uh..Uh ... Ohhhhhhhhhh," kataku saat keluar. Kurasakan pejuku menyemprot ke dalam gelas.

Seperti biasa, mama memastikan agar tiada sperma yang tersisa. Aku lantas duduk di tepi bak mandi untuk menenangkan diri.

“Gimana, agak mendingan?” tanya mama sambil memegang gelas. “Nih liat.”

Aku membungkuk untuk meligat gelas yang hampir terisi tiga per empatnya.

“Iya mah, agak mendingan sekarang.”

“Bagus,” mama lantas menyimpan gelas tersebut di pinggir bak. “Sekarang waktunya mama mandi. Kamu mau bantu mama nak?”

Aku ragu – ragu, “iya mah.”

“Sabunin punggung mama yah, abis itu kamu boleh pergi.”

“Siap mah,” kataku senang. Aku kembali berdiri.

Kamar mandiku cukup sempit. Mama berdiri berhadapan denganku. Susu mama mengenai dadaku, aku diam namun mama tak mempermasalahkannya. Mama mengguyur tubuhnya. Kontolku masih lemas namun sedang berhadapan dengan memek mama.

Kuamati tubuh telanjang mama. Saat mama berbalik, sedetik kontolku mengenai memeknya. Sungguh nikmat walau secuil. Kini mama membelakangiku. Kulihat pantat putihnya seperti menantang.

Aku mengambil sabun dan mulai menyabuni punggung mama. Mulai dari bahu, punggung lalu turun ke pantat. Saat aku menyentuh pantatnya, mama diam saja pertanda tak keberatan. Kusabuni bahu mama lagi, lalu aku sedikit memijitnya.

“Bagus nak,” kata mama. Aku merasa mama rileks.

Merasa ada kesempatan, pijatanku turung ke punggungnya. Satu tangan kuluncurkan ke pantat mama dan mengelusnya. Lalu kedua tanganku meremas pantat mama. Satu tangan merogoh belahan pantat mama dan jemariku berusaha mengelus bagian dalamnya.

Mama tetap tak bicara hingga aku biarkan aksiku. Namun aku tak mau lama – lama di situ. Kontolku kembali bangun. Aku berusaha memundurkan pinggul agar kontolku tak menyentuh pantat mama.

Tak terduga, sabun yang dipegang mama jatuh. Mama lantas membungkuk untuk mengambil sabunnya. Saat mama membungkuk, belahan pantat mama mengenai kontolku. Otomatis kontolku menerobos masuk agak dalam.

“Aw, itu tanganmu nak?” tanya mama sambil langsung berdiri.

“Eh.. bukan ... mah...” kataku ragu. “Maafin Yusup mah, nyabunin mamah malah bikin kontol Yusup tegang lagi.” Kuputuskan untuk tak menyembunyikannya.

Mama berbalik lantas melihat kontolku.

“Kok bisa, kan baru aja keluar?”

“E... mungkin karena melihat pantat mama,” jawabku jujur. Tak ada gunanya bohong sekarang.

“Kamu kan hanya nyabunin mama,” kata mama agak terkejut.

“Iya mah, cuman, tubuh mama sangat merangsang. Apalagi pantat mama.”

“Iyalah,” suara mama seperti lagi bicara sama anak kecil, seolah aku ini masih kecil dan tak tahu apa – apa.

“Kita mesti hilangkan sikap kekanak – kanakan, gairah remaja ini agar kita bisa kumpulkan sampel secara lebih dewasa,” lanjut mama dengan tegas.

Aku menatapnya, bingung, gak tahu apa maksudnya, namun kontolku masih menunjuk mama.

“Mama tahu mama mesti ngerangsang kamu agar dapet sampel, tapi gak kayak gini!” tatapan mata mama menembus jiwaku. “Apa kamu mesti keluar lagi?”

“Sepertinya iya mah,” kataku. “Namun meski kontol Yusup udah keras, sepertinya butuh rangsangan tambahan biar cepet keluar.”

“Kalau mama pikir, kamu gak butuh rangsangan lagi. Sepertinya kamu lebih butuh seks. Apa yang mesti kita lakukan untukmu?” suara mama mulai terdengar jengkel, seperti sedang bicara sama anak nakal.

"Err ....," aku bingung mendengar ucapan mama.

“Sudahlah,” kata mama setelah melihatku kebingungan. “Ambilin mama gelas lagi.”

Aku berbalik lantas mengambil gelas dan menyerahkan ke mama. Di gelas masih terdapat spermaku. Kontolku kembali lemas mendengar ceramah mama. Mama memperhatikannya.

“Udah lemes lagi tuh, yakin mau keluar lagi?”

“Iya mah.”

Mama mendesah, “ya sudah. Sekalian aja pegang pantat mama. Kamu suka kan? Bilang aja kalau udah mau keluar, biar kita cepet selesai.”

"Saya," kataku, merasa sakit sedikit.

Mama mulai membungkuk, aku memegang pantatnya. Kurasakan keinginan memasukan kontol ke pantat mama, namun kutahan keinginanku itu. Kemudian aku punya ide.

“Mah, boleh gak kalau kontol Yusup ditempelin ke pantat mama? Biar cepet keluar.”

“Oh, boleh, asal jangan masuk ke dalamnya.”

Suara mama bagaikan musik yang membius. Kupegang kontol dengan tangan kanan dan kutampar – tamparkan ke pantat mama. Kueluskan ujung kontol hingga pelumasku mengenai pantat mama.

“Oh, enak mah,” kataku menikmati sensasi ini dan goyangan pantat mama. Kurasakan seperti akan keluar. “Oh... bentar lagi keluar mah.”

Mama langsung bangkit, mengambil gelas dan berlutut di hadapanku. Melihat tanganku mengocok kontol, mama membiarkannya. Namun tak lama mama langsung memposisikan gelas ke kontolku. Akhirnya kocokanku membuat kontol menyemburkan kembali peju memenuhi gelas.

"Uooooohhh ......," mendengusku lebih keras dari sebelumnya. Mama tetap memegang gelas hingga gelombang pejuku berhenti. Mama lantas berdiri setelah aku selesai.

“Luar dari pada biasa,” kata mama sambil melihat gelas. “Sudah lebih dari setengahnya ini. Hampir penuh.”

Aku kembali bersandar ke bak. Begitu cepat testisku terisi peju. Kini testisku tak lagi sesakit sebelumnya.

“Udah puas sekarang nak?” kata mama sambil menatapku, nadanya seolah sedang bicara sama anak – anak.

“Eh ... iya mah, makasih,” suaraku seperti suara anak yang ingin bermain dengan mainannya.

“Bilas badanmu terus pake baju. Biar mama selesaikan mandi.”

Kubilas selangkanganku lantas memakai handuk.

“Mama rasa sebaiknya kita keluarkan sperma dari kontolmu sebanyak mungkin nak,” kata mama tegas sambil berdiri menatapku. “Agar dokter tari tahu seberapa banyak kamu mampu memproduksinya dalam sehari. Kita mesti atur ulang jadwal sesi per hari. Biar nanti mama pikirkan hal itu.” Mama menghentikan bicara sebentar, “sekarang gimana hasratmu terhadap tubuh mama?”

Namun, sebelum aku menjawab, mama sudah mengguyur tubuhnya sendiri. Kuputuskan kembali ke kamar dan berbaring di ranjang. Kututup mata, lelah.

***

Aku merasa pantatku ditampar beberapa kali. Seperti oleh tangan. Aku bangun, rupanya aku tertidur sehabis keluar dari kamar mandi. Sekarang kulihat mama berdiri di sebelah ranjang. Handuk melilit tubuhnya dan tangan mama menampar pantatku untuk membangunkanku.

“Bangun nak,” katanya tegas. “Udah jam setengah sebelas ini. Kenapa gak pake baju?”

Saat aku tidur pasti mama melihat pantatku lantas menamparnya. Aku berbalik, kulihat kontolku masih lemas. Mama kembali menjilati bibir, seperti sebelumnya. Aku yakin mama tak menyadari saat melakukan hal itu.

“Maaf mah, Yusup ketiduran. Yusup ngantuk sih abis keluar duakali tadi.”

“Oh,” suara mama kini lebih tenang. “Kamu gak lupa apa yang mama katakan kan? Mama akan pikirkan lebih saat diluar. Pake baju dulu terus sarapan. Mama juga mau dibaju terus pergi.”

Mendengar kata – kata mama soal pake baju membuat muncul sebuah ide.

“Kayaknya Yusup gak pergi deh hari ini mah. Lagi pingin di rumah. Oh ya, karena mama bilang ada tambahan sesi, Yusup mesti pake baju terus lepas baju terus pake baju lagi, gimana kalau Yusup pake boxer aja mah. Gimana kalau di rumah Yusup pake boxer aja. Lagian mama kan gak aneh liat Yusup telanjang.”

Mama menatapku dalam diam, seperti sedang mempertimbangkan kata – kataku. “Ya mama kira itu bakal bikin hemat waktu. Kalau gak ada tamu boleh aja kamu mau pake itu. Tapi hanya saat kita menjalankan sesi saja. Setelah semuanya usai, kembali ke normal,” suara mama tegas. “Juga biar hemat cucian,” kini suara mama lebih santai.

Mama lalu keluar dari kamarku masih dengan handuk melilit.

Aku berbaring di kasur sejenak. Bangkit lantas memakai boxer. Untuk atasannya, aku memakai sporthem [kemeja lengan pendek] yang longgar, kukancingkan hanya satu kancing. Aku turun menuju dapur.

Di dapur ada mama yang berpakaian lengkap. Juga memakai make up. Mama memakai gaun dengan rok selutut. Juga memakai kalung. Kusadari mama hanya memakai kalung saat bepergian. Kini kuakui mama terlihat gemuk namun menarik meski tidak cantik.

“Mama belanja dulu, makanan udah ada. Nih uang kalau mau jajan. Mumpung kamu di rumah, beresin rumah, jangan malas.” Setelah berkata mama lantas pergi.

Kudengar mama menyalakan mobil. Aku duduk di dapur dan memikirkan kata – kata mama di kamar mandi. Mama telanjang dan membiarkan kontolku bermain di pantatnya meski hanya beberapa saat. Mama juga tahu ketertarikanku pada tubuhnya. Aku merasa mama tau aku berpikir sesuatu yang tidak seharusnya kupikirkan. Mau gimana lagi, aku normal dan masih muda. Melihat wanita telanjang, apalagi mamaku, membuatku makin terangsang.

Aku penasaran apa yang akan mama lakukan selanjutnya. Daripada pusing, lebih baik kupikirkan nanti saja. Sakit di testisku mereda setelah aku keluar dua kali. Tapi aku tahu sebentar lagi pasti kembali terasa sakit.

Setelah makan, aku membereskan dapur dan ruang tv agar suasana hati mama membaik saat pulang. Selesai beres – beres, aku menonton tv sambil berkomunikasi dengan teman – temanku. Tentu saja aku tak memberi tahu apa yang terjadi antara aku dan mama.

Sekitar jam tiga kudengar suara mobil mama. Kubuka pintu dan menunggu mama. Saat mama sampai di pintu, kuangkat belanjaan ke dapur. Mama masuk lalu menutup pintu. Mama terlihat serius, namun saat melihat dapur dan ruang tv, mama terlihat senang.

“Kamu udah beres – beres ya,” katanya sambil menatapku, dari atas hingga ke bawah.

“Iya mah. Abisnya mama juga udah bantu Yusup untuk ... ... mama tahulah.”

Mama lantas menyortir belanjaannya. “Mama mau masak, kamu mau makan apa nak?”

“Apa aja mah.”

“Ya udah, ntar mama panggil kalau udah beres.”

“Iya mah.”

Aku lantas ke kamarku. Kuputuskan membaca untuk mengalihkan perhatianku. Sekitar satu jam kemudian mama memanggilku. Aku turun ke dapur.

“Duduk nak.”

Aku lantas duduk. Mataku menatap dada mama sebentar. Kurasa mama menyadarinya.

“Mama telah pikirkan, meski mama bantu kamu dengan rangsangan agar kamu keluar, namun melihat tubuh mama sepertinya malah membuat kamu nafsu.”

Mama berhenti sejenak.

“Setelah dipikir, mama rasa wajar bagi anak lelaki terangsang saat pertama kali melihat tubuh wanita telanjang, meski tubuh mamanya sendiri. Andai dokter tari tak menyuruh kita melakukan kegiatan ini, mama yakin kamu takkan memiliki dorongan seksual pada mamamu ini.”

Aku mengangguk setuju. Tentu tak perlu kukatakan telah beberapa tahun aku sangat ingin melihat dan menyentuh tubuh mama. Itu sama saja bunuh diri.

“Jadi mama putuskan untuk terus memberi rangsangan untuk keperluanmu.”

“Makasih mah,” kataku sambil senyum, sedikit lega.

“Namun, dari hasil sesi kita pagi ini, sepertinya kamu butuh melakukan sesuatu terhadap nafsumu. Dan sebaiknya kita menambahkan sesuatu pada sesi kita agar kamu cepet keluar.”

Mama berhenti bicara namun aku tak paham maksud dari kata – katanya.

“Mama pikir agar kita bisa memberikan bahan sebanyak mungkin untuk dokter tari, kita mesti membuatmu keluar sesering mungkin agar kita tahu batasmu. Sejauh ini, kita selalu berhenti setelah kamu merasa nyaman, bukannya setelah beberapa kali keluar. Kemarin – kemarin juga agak canggung karena mama mesti kerja dan kamu mesti kuliah.”

Aku menatap mama dengan ekspresi bingung. “Jadi maksud mama apa?” kataku ragu.

"Maksud mama, agar kamu bisa keluar sesering mungkin, selama sisa hari tes ini mama akan memberikan rangsangan terus – menerus.”

Aku menelan ludah.

"Eh .... ok," kataku, meski tak yakin apa maksud mama.

“Makanya mama perlu pakaian untuk itu. Mama pergi ke toko baju tadi dan beli beberapa pakaian untuk membantu sesi kita.”

Wow, aku tak percaya dengan apa yang kudengar. Aku kembali menelan ludah. “Oh,” hanya itulah yang keluar dari mulutku.

“Mungkin mama takkan memakai lingerie seharian, tapi mama punya pakaian lain untuk merangsang kamu.”

Kontolku bergerak – gerak. Namun karena aku sedang duduk, mama takkan menyadarinya.

“Juga untuk membuatmu keluar, sekalian menyalurkan nafsumu terhadap tubuh mama.”

“Eh.. Edi sud rahma, maksud mama?”

“Ya kamu katakan kamu mau apa saat sesi kita dan mama akan jawab kalau mama pikir boleh.”

“Maksud mama soal menyentuh mama?”

“Tentu saja. Dan juga soal hal lain andai kamu merasa ingin melakukannya.”

Aku menelan ludah. Mulutku tiba – tiba kering.

“Tapi,” lanjut mama, “ingat satu hal. Kamu gak boleh menusuk mama. Sangat – sangat tidak boleh. Paham?”

Aku tersipu mendengar kata – katanya. Apa mama tahu aku justru ingin melakukan itu? “Iya mah.” Namun suaraku terdengar seperti kecewa.

“Dan satu lagi dari mayor, eh dari mama. Mama akan melakukan atau menyarankan hal – hal yang biasa dilakukan wanita untuk membantu kamu keluar.”

“Seperti apa mah?” aku penasaran.

“Kita lihat saja nanti,” mama mencoba berteka – teki. “Kenapa gak tunggu sesi kita selanjutnya aja.”

Pikiranku mulai dibanjiri hal – hal dari dunia perpornoan. Mulai dari film hingga cerita. Kontolku sudah tegang.

“Apa kamu sudah ingin keluar lagi nak?” mama akhirnya melihat selangkanganku.

“Eh... iya mah, kebetulan. Denger kata – kata mama jadi gak tahan.”

“Ya udah, gak perlu disembunyikan.”

Mama menggeser kursi hingga kursinya bersebelahan dengan kursiku. Lalu melihat selangkanganku.

“Mulai sekarang kamu mesti beri tahu mama saat kamu terangsang oleh tubuh mama. Biar mama bisa tahu pakaia seperti apa yang bisa merangsangmu. Juga biar kita bisa langsung mendapat sampel buat dokter Tari. Jelas nak?”

“Iya mah.”

“Sekarang lepas sporthemmu.”

Aku berdiri. Mama segera melihat gundukan di boxerku. Kulepas kancing bajuku hingga terbuka. Melihat gundukan di boxerku mama lantas membelainya, “udah siap nih kayaknya,” kata mama sambil tersenyum.

Kulepas bajuku dan menyimpannya di kursi. Aku berdiri telanjang dada.

“Karena mama akan memberi rangsangan nonstop maka kita bisa mengambil sampel di mana saja. Biar mama bawa gelas dulu.”

Mama ke jendela mengambil gelas yang ditaruh di sana. Setelah meraih gelas mama kembali lagi duduk di kursi di depanku.

“Lepaskan celanamu.”

Kuturunkan celana dan kutendang. Kontolku sudah tegang. Padahal mama masih memakai pakaian.

“Mama gak mau kamu keluar terus mengotori baju dan bh mama. Jadi biar mama lepas dulu.”

Mama berdiri lalu meletakan gelas di meja lalu mulai melepas bajunya. Terlihat mama memakai bh hitam. Bh itu juga dilepasnya hingga menggantunglah susu mama. Kalung mama masih menggantung, menambah seksi, pikirku.

Mama kembali duduk membuat kontolku hampir sejajar dengan wajahnya. Mama mulai membelai kontolku. Aku menunduk melihat susu mama. Aku ingin menghisapnya namun masih ragu.

“Mulai kini kamu bilang aja apa yang kamu mau,” kata mama menatap mataku.

Aku tersipu ditatap mama, “Yusup ingin, kalau boleh, ingin nyusu mah.”

“Terdengar wajar dan alami. Boleh aja asal kamu gak menggigitnya. Jangan kasar.”

Aku berlutut hingga mataku sejajar dengan susu mama. Kutangkupkan tangan pada susu mama mencoba mengukur besarnya dengan telapak tanganku. Lalu kuelus – elus dan kuremas pelan. Kini kujilati areola susu kiri mama lalu kuhisap pentilnya. Sedang susu kanan mama kuremas.

Kupindah mulut ke susu kanan mama, sedang tanganku bermain di susu kirinya. Samar – samar aku mendengar erangan mama.

“Udah belasan tahun kamu gak nyusu lagi sama mama nak,” kata mama lembut.

Aku sibuk menghisap dan memainkan susu mama. “Sudah cukup nak. Biar mama elus kontol kamu lagi.”

Aku berdiri dan menyodorkan kontol ke mama. Mama kembali menjilati bibir. Aku ingin menyuruh mama menghisap kontolku namun belum berani. Mulut mama begitu dekat dengan kontolku, hembusan nafas mama ikut membelai kontolku. Sambil ngocok, mama sepertinya menatap lubang kontolku.

Muncul ide lain, “mah, boleh gosokin di susu mama gak?”

“Sepertinya gak apa – apa.”

Mama lantas duduk agak maju di kursinya lalu memegang kedua susunya. Aku meraih kontol dan mulai membelaikan ke belahan susu mama. Mama mendorong kedua susunya dengan hati – hati membuat efek seolah kontolku dijepit. Sambil menekan susu, mama menahan kontol dengan jemarinya agar tak lepas dari jepitan susunya.

Aku mulai menggyang pinggul maju mundur hingga kontolku seakan mengenai dagunya. Kulihat kontolku mulai mengeluarkan pelumas, bahkan mulai melengketi susu mama.

“Ayo nak, sodok susu mama hingga keluar,” suara mama tiba – tiba bersemangat.

Aku tak percaya apa yang kudengar. Baru kali ini kudengar mama berkata – kata seperti itu. Benar – benar menggairahkan.

Aku terus nyodok sementara mama memegang susunya.

“Sodok terus,” kata mama lagi bersemangat.

Tak perlu waktu lama hingga kurasa sudah saatnya.

“Yusup mau keluar mah... ah...”

Mama langsung melepas susu dan dengan tangan kiri meraih gelas. Tangan kanannya mulai ngocok kontol sementara gelas diposisikan.

Cukup beberapa kocokan membuatku memuntahkan peju ke gelas. “Ohhh....” kataku seiring pejuku membanjiri gelas. Mama terus ngocok hingga tetes terakhir. Setelah tiada lagi peju tersisa, mama melepas kontolku.

Aku kembali duduk di kursi. “Nikmat gila,” kataku sambil merem. Lalu aku sadar mama masih di sebelahku, aku membuka mata menatap mama, “eh, maaf mah.”

“Gak apa – apa sayang,” kata mama sambil melihat gelas. “Mama ngerti kamu puas. Mama gak keberatan asal jangan terlalu kasar. Mama juga sengaja ngomong kayak tadi, ngebantu biar kamu cepet keluar.”

Mendengar penjelasan mama membuatku agak santai, meski tidak sedang berada di pantai. Kulihat gelas, ternyata hampir penuh. Sudah tiga kali seperti ini. Padahal ini sesi ketiga.

“Mama gak percaya kalau gak melihat, kamu masih mampu produksi sebanyak ini,” katanya. “Tak percaya tapi ini terjadi. Seharusnya kamu produksi lebih sedikit setiap abis keluar. Saat mama kerja kemarin, kita punya empat sesi. Sepertinya mesti kita pikirkan kembali nih. Biar frekuensinya sama seperti akhir pekan. Bisa – bisa kamu kekeringan setelah sesi terakhir.”

Aku mendengar mama bicara sambil diam mencoba memulihkan diri.

“Mama mau ganti baju buat ngerangsang kamu saat di rumah,” katanya. “Bersihin dulu tubuhmu dan pake lagi boxernya.” Mama bangkit, masih telanjang dada. Susunya bergerak bebas, mengambil pakaian dan bh lalu melangkah ke kamarnya. “Mama gakkan lama.”

Melihat goyangan pantat mama membuatku menelan ludah lagi. Apakah yang akan mama pakai?

Hot Mama Part 2

   

Setelah bertahun – tahun menyembunyikan aksiku, kini aku bebas masturbasi. Bahkan mama bisa ikut serta. Sungguh menakjubkan. Meski testisku masih tetap sakit. Mudah – mudahan benar kata bu dokter, ini hanya salah satu fase yang pasti dilalui.

Aku langsung membersihkan diri dan berpakaian. Siapa tahu mama datang lagi untuk ngobrol. Ternyata benar, mama mengetuk pintu lalu masuk. Mama kembali berpakaian normal seperti biasa. Mama mendekat lantas tersenyum. “Sesuai jadwal, esok pagi kita akan mulai sesi pengukuran. Kamu mesti bangun lebih pagi karena mama mesti kerja.”

Aku ikut senyum. “Iya mah,” kuatur suaraku agar setenang mungkin. Kenyataanya, kontolku masih saja tegang.

“Mama tidur dulu nak.” katanya lantas keluar.

Malam sudah menunjukan pukul sepuluh. Kupikir kata – kata mama. Biasanya aku berangkat kuliah setelah mama pergi kerja. Aku penasaran mama akan pake apa besok. Untuk mengalihkan pikiran, aku coba main gim sebentar lalu tidur.

***

“Sup... Yusup... Bangun nak...” Mama membangunkan sambil menggerakkan lenganku.

Aku membuka mata yang masih mengantuk. Mama membuka gordyn membuat kamarku dipenuhi cahaya matahari pagi. Kontolku keras. Kulihat mama memakai rok selutut warna hitam dan blus warna krim.

“Mama telat,” katanya terdengar kesal. Seperti biasa, setiap pagi memang mama selalu terdengar kesal. Kulihat mama memegang gelas. “Ayo, kita mesti cepat.” kata mama sambil menarik selimut. Masih terdengar kesal.

Mama melihat kontolku yang keras dari balik piyama. Aku memang biasa tidur hanya memakai celana saja. Tanpa pakaian. “Setidaknya udah siap nih,” kata mama agak tenang.

Tetap saja, aku masih merasa aneh.

Mama melipat selimut lalu menaruhnya. “Cepat lepas piyamamu lalu berbaring seperti semalam.”

Aku menurut

“Karena udah siang, jadi mesti gini.” Mama menunjuk pakaian yang dipakainya. “Mama gak punya waktu buat ganti baju. Kamu boleh sentuh pantat mama jika kamu mau. Rangsangannya pasti cukup, ditambah tangan mama.”

Aku sedikit kecewa mama tak mengganti pakaiannya. Mama kembali memposisikan diri seperti semalam. Dengan pantat miring agak ke wajahku dan mama mulai mengocok kontolku.

Berkali – kali aku mengimpikan memegang pantatnya. Kali ini aku bisa melakukannya. Sekali lagi seperti semalam, kubuat agar terlihat seperti kurang tertarik, kuelus pantat mama yang kiri. Lalu mengelus yang kanan, dari luar roknya. Kuremas pantat mama

“Jangan buat rok mama kusut,” kata mama tegas sambil tetap mengocok kontolku.

Kulebarkan elusan di pantat mama. Apakah mama akan marah jika aku merogoh melalui roknya? Aku lantas berpikir cepat namun berbicara gagap, “mah... bob... boleh.. ngelus dari dalam rok gak?”

Mama menatap sebentar, lalu bicara dengan nada sedikit keras “Iya kalau bisa membuatmu cepet keluar. Tapi jangan sampai rok mama kusut.”

Ujung rok itu hanya selutut. Perlahan tanganku meluncur dari bawah masuk ke dalam roknya mengelus kaki kanannya. Kuelus paha mulus mama hingga sampai ke cdnya. Aku merasakan paha dan pantat mama sangat lembut.

Kuremas pantat mama dari luar cd lalu mengeluskan jemari dari sisi cd. Mama sepertinya tak keberatan, meski hanya sebentar. Aku merasa akan keluar. “Kayaknya Yusup akan keluar mah.”

Mama langsung mengarahkan helm kontol ke gelas sementara kontolku tetap di kocok. Saat aku meraba pantat mama lagi, kuarahkan dua jari sejalan dengan garis cd mama hingga dekat dengan memeknya. “Ohhh.. ohhh...” aku mulai keluar.

Tangan terampil mama mebuat pejuku semua masuk gelas.

“Bagus nak, bagus,” suara mama terdengar lebih santai dibanding saat mulai. Setelah habis, mama mengusap jemari di kontolku hingga semua tetes tak ada yang sia – sia.

“Ya ampun, banyak sekali nak.” Mama menerawang gelas itu ke arah cahaya mentari. Kulihat kira – kira terisi seperempatnya. “Mama akan catat ini di formulir. Mama pergi dulu ya.” Mama mengecup pipiku lantas keluar kamarku.

Aku memejamkan mata. Pantat mama sungguh besar. Nikmatnya berbaring sambil dibantu masturbasi oleh mama, apalagi sambil mengelus pantat mama. Aku penasaran apa bisa menambah variasi lagi. Sialnya aku mesti kuliah.

***

Aku tak bisa konsentrasi di kelas. Kontol ini rasanya tegang terus memikirkan semalam dan tadi pagi. Hingga akhirnya aku pulang. Mobil mama sudah terparkir. Setelah aku masuk, mama memanggilku. Aku ke dapur mengikuti asal suara mama.

“Sini nak.”

Mama sedang masak sesuatu.

“Mama sudah pikirkan peraturan kita,” mama bilang tanpa hai dulu. “Kita mesti mengatur jadwal kita jadi saat kamu pulang, kita punya satu sesi. Satu sesi sebelum tidur dan atur satu sesi lagi di sore hari untuk malamnya.” Aku tak suka nada bicaranya. Seperti biasa, nadanya terdengar tak menyenangkan.

“Kalau dipikir – pikir, Mama tambah repot saja nak. Mama harap kamu menghargai apa yang mama lakukan.” Suaranya kini benar – benar marah. Mungkin mama telah memikirkannya sepanjang hari di tempat kerjanya.

“Iya mah.” Aku berusaha untuk menenangkannya. “Semoga ini hanya untuk dua minggu saja.”

“Apa kamu gak bohong sama dokter dan sama mama?” Mama mulai menuduhku. “Kalau mama sampai tahu,” nadanya mulai mengancam.

“Ya enggak dong mah.” Aku mulai terdengar putus asa. “Yusup tak tahu bahkan kenapa bisa gini.” Aku mencoba menatap mama.

Mama balas menatapku. Hening beberapa saat. “Baiklah kalau gitu,” suara mama agak tenang. Mama kembali memasak. “Kamu mau mandi?” meski suaranya terdengar santai, namun tetap terdengar seperti perintah.

“Iya mah.”

“Karena kita mesti mendapat tiga spesimen ntar malam, agar cepet, kita ambil satu saat kamu mandi sore. Biar hemat waktu.”

Aku makin bersemangat mendengarnya.

“Iya mah. Yusup gakkan kunci kamar mandinya.”

“Bersihin dulu badanmu, setelah itu panggil mama. Mama gak ada waktu buat bersihin kamu.”

“Iya mah,” kataku sambil pergi naik.

Kulepas pakaian di kamar lalu ke kamar mandi. Aku mandi hingga bersih. Kubuka pintu lalu berteriak, “Yusup siap mah.”

Kukeringkan badang memakai handuk. Aku bayangkan mama datang hanya memakai cd dan bh. Aku jadi malu mama mengetahui betapa mudah aku terangsang. Lantas kupakai handuk menutupi selangkanganku. Mama datang lalu mengetuk pintu.

“Masuk mah.” Jantungku berdetak lebih kencang seperti genderang mau perang.

Mama masuk. Rupanya mama tak melepas pakaian. Tetap memakai blus dan rok. Aku agak kecewa. Tangannya memegang gelas

Mama menatap tubuhku, dari atas sampai bawah. Mama melihatku memakai handuk. Kontolku kembali tegang melihat mama berdiri di depanku.

“Kenapa kamu pake handuk?” kata mama lalu meraihnya hingga lepas. Muncullah kontolku yang sudah tegang. Aku masih malu, belum terbiasa.

“Kontolmu mudah tegangkan?” kata mama sambil menatap kontolku. Kontolku menunjuk lurus ke mama.

“Iya... kan.. masih muda mah.” Aku berusaha agar terdengar tak memalukan. “Lagian Yusup gak bisa ngapa – ngapain mah,” tambahku jujur.

Mama menjilat bibirnya. Aku tak pernah melihat mama melakukan itu, menjilati bibirnya. Aku tak tahu kenapa mama menjilati bibirnya. Mama lantas menatap kembali wajahku.

“Kita mesti melakukan dengan cara lain karena kamu berdiri, gak berbaring.”

“Iya mah. Kayaknya Yusup akan cepet keluar kali ini,” aku penasaran apa mama akan melepas pakaiannya.

“Iya, sepertinya kamu tak butuh rangsangan lain lagi. Tapi tetap, mama lepas dulu blus dan rok mama. Biar gak kotor.”

Mama berbalik memunggungiku lalu melepas blus dan menggantungnya. Aku bisa melihat tali bhnya yang berwarna krim. Mama lalu melepas sleting dan menurunkan rok. Cdnya juga warna krim. Pantatnya besar menantang. Kali ini kulihat cd krim mama lebih kecil dibanding cd hitam mama. Hingga belahan pantat mama agak terlihat. Meski gendut, namun mama benar – benar seksi.

Mama lalu mengangkat kaki untuk menarik roknya. Kaki kanan dulu lalu kaki kiri. Rok itu lalu digantung juga. Mama berbalik, menatapku lalu menatap kontolku. Kulihat bh mama, seperti cdnya, juga lebih kecil dibanding bh hitam. Menampilkan lebih banyak susu mama.

Kulihat selangkangan mama, bahan cdnya cukup lebar di daerah sana jadi aku tak bisa melihat menembusnya. Bahkan tak kulihat sehelai jembut pun. Aku lantas mengangkat pandanganku.

“Udah bener – bener bersih gak?” katanya sambil menatap kontolku.

“I... iya mah,” jawabku pelan.

“Biar mama bilas sekali lagi.” mama menaruh gelas di pinggir bak, mengambil air memakai gayung lalu membasuh kontolku sambil mengelusnya. Sekalian sama testisku.

“Muter,” kata mama.

Aku berputar tanpa tau maksud mama. Mama sekarang melihat pantatku. Mama lantas kembali membasuh pantatku dan menggosoknya.

“Rasanya Yusup mau keluar mah,” suaraku terdengar putus asa, namun tetap kuusahakan setenang mungkin.

“Muter lagi.”

Aku kembali berputar hingga menghadap mama.

“Ya udah, gak perlu buang – buang waktu lagi.” Mama meraih gelas, “kali ini mama masturbasi kamu sambil menghadap.”

Mama lantas berlutut hingga wajahnya sejajar dengan kontolku. Tangan kiri memegang gelas sedang tangan kanan mulai mengelus kontolku. Gelas itu sejajar dengan susu mama. Andai saja gelas itu tak ada...

Saat mama mulai membungkuk, aku melihat belahan susu mama dari atas. Remasan dan belaian tangan mama sungguh nikmat. Tak lama lagi aku akan keluar, namun tiba – tiba mama menghentikan tangannya.

“Kalau gini bisa jadi masalah sepertinya. Mama gak mau andai lepas dari gelas spermamu malah mengotori bh mama. Lebih baik mama lepas dulu.”

Aku tak tahu apa yang terjadi, antara aku dan mama. Yang kutahu pasti, mama akan melepas bhnya. Mama melepas kontolku dan menaruh gelas di lantar. Mama mulai melepas bhnya. Jantungku makin berdebar melihat mama.

Tanpa banyak bicara, mama meraih gelas lagi, menempatkan dan mulai mengocok kontolku. Aku tak percaya apa yang kupandang. Belum pernah kulihat susu sebelum ini, kecuali di film. Susunya begitu besar, areolanya lebar dan warnanya hitam.

Aku hanya bisa melongo melihat susu mama terngguncang seirama kocokan tangannya. “Yusup keluar....” mama mencengkram erat kontol agar pejuku masuk gelas. “Oh... oh.....”

“Bagus nak,” mama terdengar bersemangat saat memerah kontolku. Setelah lemas, kontolku dilepas mama.

Aku lantas dudu di pinggi bak mandi, menutup mata menikmati sisa – sisa sensasi ini.

“Lihat ini,” kata mama saat kubuka mata.

Aku menatap gelas dan melihat pejuku hampir setengah gelas. Namun mataku tak lama menatap gelas. Mataku kembali menatap susu mama. Kurasa mama menyadari aku menatap susunya.

“Oke, cukup kali ini. Mama mau nulis catetan ini dulu. Terus lanjutin masak. Bersihin lalu turun.” Mama bangkit, meraih bh dan pakaian lantas keluar. Aku tak bisa melepas pandang dari pantat mama. Getaran pantatnya, bahkan sepertinya pinggul mama bergoyang lebih dari yang pernah kulihat. Mungkin hanya imaji nasiku, atau benarkah?

Tak pernah kubayankgan akan melihat mama hanya berbalut cd, melangkah keluar dari kamar mandiku. Hm, tidak terduga. Setelah mama hilang dari pandangan, kubersihkan diri lantas berpakaian. Pikiranku kembali ke adegan tadi. Cara mama memandang kontolku, baru kusadari sepertinya mama terpesona. Cara mama menjilati bibir. Cara mama membungkuk saat akan melepas roknya. Saat mama melepas bh, merangsang sekali.

Sebelumnya, di dapur tadi, mama marah padaku, bilang betapa tak nyamannya mama. Aneh.

Aku sangat terangsang diperlakukan sedemikian rupa oleh mama. Namun di benakku aku mulai bertanya – tanya, apakah mama melakukan semuanya sengaja, karena mama memiliki maksud lain yang tersembunyi?

Setahuku, mama tak pernah lagi berhubungan setelah cerai dengan ayah. Meski gendut dan tidaklah cantik, namun pasti mama memiliki hasrat seksual juga. Apakah mama marah di dapur karena merasa bersalah ataukah karena mama juga merasakan kesenangan tertentu lantas merasa bersalah?

Andai itu yang terjadi, kesempatanku untuk lebih berani. Langkah demi langkah. Bahkan aku tak perlu malu akan diri sendiri saat di depan mama, jika mama pun merasakan getaran tertentu. Aku jadi merasa percaya diri untuk sesi berikutnya. Aku jadi sadar akan pancaran seksual tubuhku, aku tak perlu malu lagi.

Kulihat jam, rupanya lama juga aku merenung. Aku turun. Mama sedang menyiapkan makanan. Tentu saja memakai pakaian. Tak ada pembicaraan tentang sesi sebelumnya. Mama hanya nanya hariku di kuliah. Aku menjawab lantas bertanya mengenai hari mama di pekerjaan. Mama menjawab. Seperti ibu dan anak biasa. Namun kali ini kulihat ada sedikit perbedaan di tubuh mama. Seperti agak nakal. Lebih santai dari pada biasa.

Sebelum makan, mama berkata, “bilang saja kalau kamu udah mau keluar lagi.”

Aku mengangguk lantas makan. Setengah jam setelah makan, aku merasa siap. “Rasanya Yusup sudah siap mah,” kataku pada mama yang sedang baca di ruang tv.

Tanpa menatapku mama berkata, “Ok. Kita lakukan di kamarmu saja. Siap – siap dulu mama ntar nyusul.”

Aku berbaring telanjang menunggu mama. Kontolku sudah agak tegang. Aku merasa sedikit santai, dibanding sebelumnya. Saat di kamar mandi, aku tak dapat pantat mama. Kali ini harus dapat. Segera terdengar ketukan di pintu. Mama lantas masuk memegang gelas. Mama memakai bh dan cd warna krim. Susunya agak goyang saat berjalan mendekati ranjang. Kontolku langsung hormat pada mama, tegak grak.

“Kita lakukan seperti malam tadi dan pagi tadi,” katanya sambil memiringkan tubuh. “Kamu boleh sentuh kaki mama lagi kalau kamu suka.”

Aku langsung membelai dan meremas pantat mama dengan tangan kiri sementara mama menyiapkan gelas di antara selangkanganku lalu mulai membelai kontolku. Aku agak kecewa tidak bisa melihat susu mama seperti sebelumnya. Mungkin esok di kamar mandi ada kesempatan lagi.

Pantat mama sungguh indah. Aku merasa kali ini akan bertahan agak lama, meski hanya beberapa saat. Setelah beberapa menit, mama menatapku, mungkin heran akan durasi ini. “Gak terlalu cepat kayaknya kali ini.”

“Iya mah. Mungkin sebentar lagi.”

“Yah, mungkin ini bisa membantu. Mama gak bisa gini semalaman,” katanya tegas.

Kemudian mama melakukan sesuatu yang menakjubkan. Tangannya yang bebas meraih pantat lalu menurunkan cdnya hingga pantatnya terlihat. Mama bahkan menggoyangkan pantat seolah menggodaku.

Aku kembali meremas dan mengelus pantat mama, yang tanpa cd kali ini. Aku menyentuh sedikit daging diantara bongkahan pantatnya.

“Yusup mau keluar...”

Mama meraih gelas dengan tangannya yang bebas lalu memposisikannya. Aku lantas mengelus batas antara anus dan memek mama dengan kedua jari. Mama menggoyangkan pantat mungkin akibat aku menyetuh titik sensitif namun tak protes.

“Oh... oh....” suaraku saat pejuku menyembur memenuhi gelas. Memastikan agar seluruh pejuku tertampung di gelas.

Aku lantas membelai pantat mama saat mama berdiri. “Sana bersihin dulu, mama mau nyatet dulu.” Mama lantas melangkah keluar kamarku. Mataku melihat pantatnya, cdnya masih menggantung agak bawah dari pantatnya. Aku ingin menjilati pantat itu. Lalu mama menghilang dari pandanganku.

Kubersihkan diri, memakai baju. Kukerjakan tugas – tugas kuliah. Kudengar mama beraktifitas di taman. Padahal sudah senja.

***

Sekitar jam sepuluh malam, mama kembali mengetuk pintu kamarku lantas masuk.

“Mama ingin tidur lebih cepat. Kita lakukan sesinya sekarang aja.”

“Iya mah,” aku berbalik dari monitor tempatku mengerjakan tugas.

Kurasa mama bakal keluar menungguku melepas pakaian. “Buka aja pakaianmu sekarang. Gak usah malu.”

Kontolku yang lemas kembali bangun. Kulepas kaosku dan mulai melepas sleting celana jinku. Mama melepas pakaian dan mulai melepas roknya. Mama meletakan pakaian di sudut ranjang. Aku mengikutinya.

Aku berdiri hanya tinggal memakai boxer. Kontolku terlihat sudah bangung. Mama pun berdiri hanya bercd dan bh. Kutarik boxerku turun hingga nampak kontolku. Mama melihat kontolku namun tak berkata. Aku mulai memakai otakku. Mama seperti ingin melihat pantatku saat di kamar mandi tadi. Jadi sebelum naik ke kasur, aku berbalik hingga mama bisa melihatku telanjang dari belakang. Aku berjalan ke jendela dan menutup tirai. Namun tetap ada celah sedikit ditengahnya.

“Cuma ngecek mah biar gak ada yang liat,” kataku seolah berusaha membantu.

Kuyakinkan diri agar mama dapat melihat pantat dan punggungku. Kemudian aku mundur dan menunduk seperti mau meraih sesuatu di lantai, membuat pantatku makin terlihat oleh mama.

Aku lantas berdiri, berbalik lalu berbaring di kasur. Sedari mama masuk kuhindari kontak mama, tapi setelah berbaring kulihat wajah mama. Sepertinya mama terlihat agak merah.

“Mama senang kamu cermat,” katanya sambil tesenyum, suaranya seperti disusun. “Mama tahu semua ini murni medis, namun tetap, kita mesti hati – hati. Agar tiada tetangga tahu. Kamu sendiri tahu, tetangga masa kini, kebanyakan tetangga masa gitu.”

“Iya mah. Yusup ngerti.”

Melihat mama santai dan senang dengan aksiku membuatku ingat akan ideku soal sedikit melangkah per sesi.

Seperti biasa, mama berdiri di sampingku. Saat mama membungkuk, aku mulai bicara, “mah... kalau boleh, agar yusup cepet keluar, karena sebelumnya lama, mungkin mama lepas dulu bh mama, agar..”

Suasana langsung hening, meski tidak bersuasanaseger. Mama seperti merenungkan apa yang kukata, lalu menatap ke arahku. Tampak serius, mama lalu bicara, “Mama setuju, sebelumnya kamu terlalu lama keluar. Mama gak ingin lama – lama. Lagian di kamar mandi kamu udah liat susu mama, jadi gak masalah kalau liat lagi saat kita di kamar.”

Kata – kata mama bagaikan nyanyian Sinatra. Mengalun merdu di telingaku, membuat kontolku merespon. Namun kuputuskan untuk tiada berkata. Sanggupkah aku lebih jauh?

“Makasih mah. Udah membantu. Boleh gak Yusup pegang juga, seperti pada pantat mama? Biar makin cepat keluarnya.”

Masih dengan wajah serius, mama bersuara normal, “oke, tapi sentuhan ringan saja.”

Mama melepas bhnya. Aku tak sabar melihat dan menyentuh susu mama. Kontolku langsung bereaski saat mataku melihat susu mama.

“Mama bisa liat hasilnya langsung,” kata mama sambil menatap kontolku.

“Susu mama bener – bener indah,” aku berusaha terdengar menghargai. “Semoga mama gak keberatan Yusup bilang gitu.”

“Makasih sayang. Mama gak keberatan kok. Dulu papamu juga suka,” nada mama masih terdengar normal.

Mama memposisikan susunya hingga hanya sejengkal dari wajahku. Belum pernah sedekat ini aku melihat susu mama. “Kamu boleh menyentuh dan meremasnya pelan. Agar cepet keluar.”

Aku mulai mengelus susu mama yang menjuntai. Jempolku mengelus pentilnya. Kumainkan pentil mama dengan jempol dan telunjukku. Kupilin pelan hingga berubah jadi agak keras. Kontolku jadi makin berkedut.

“Udah cukup nak,” kata mama setelah beberapa saat, mungkin tangannya merasakan kontolku. “Biar mama keluarin sampelnya sekarang.

Aku melepas genggaman tangan dari susu mama. Meski aku sangat ingin mengisapnya tapi lebih baik aku sabar menanti. Mama mendekatkan pantat kepadaku, lalu menggoyangkannya. Kurasa kini mama tau betapa aku sangat menyukai pantatnya. Gerakan pantat mama sungguh seksi, hampir menyentuh tanganku, membuatku menduga jangan – jangan mama juga menikmatinya.

Mama membungkuk membuat susunya berada di atas perutku. Tangan kanannya kembali mengocok kontol. Kemudian tanpa kuminta, tangan kirinya kembali menarik cd hingga melorot, seperti sesi sebelumnya. Mungkin mama mengira aku akan cepat keluar, karena setelah itu mama langsung menyiapkan gelas dengan tangan kirinya. Kontolku diarahkan ke gelas sambil terus dikocok.

Mama benar. Melihat susu mama begitu dekat dan pantat mama menggeliat seksi membuat aku tak tahan. Beberapa detik kemudian aku keluar menyemprotkan peju ke dalam gelas.

“Bagus nak. Hasilnya bagus,” suara mama terdengar puas sambil menyeka sisa peju pada kontol dengan jemarinya. Mama lantas berdiri dan menerawang gelas. Susunya benar – benar seksi.

Aku hanya bisa menelan ludah melihat tingkah laku mama.

“Udah waktunya mama tidur,” kata mama sambil tersenyum, “sehabis mencatat sesi ini.” Mama lalu membungkuk dan mencium pipiku. Susunya menyentuh susuku. “Selamat tidur nak. Siap – siap untuk sesi esok pagi.”

“Malam juga mah. Makasih atas bantuannya.” aku berusaha agar terdengar bersyukur.

Saat mama melangkah keluar, aku memperhatikan pantat dengan cd melorotnya. Sepertinya mama tak keberatan aku melihat, terbukti mama sedikit menggoyangkan pantatnya.

Testisku tak lagi sakit setelah keluar tiga kali hari ini. Aku puas.

Hot Mama Part 1

 

Masa remaja merupakan masa penuh tantangan. Setidaknya itulah yang kurasakan. Mama menjadi tempramen akibat perceraian tiga tahun lalu. Kini mama berusia lima puluh lima tahun, sedangkan aku. “Mama tak mau lagi ngurus suami” katanya saat kutanya kenapa mama gak cari pasangan lagi.

Hidup mama mungkin tak semulus pantat bayi. Menikah di usia tiga puluh lima, ke pada ayah, seorang duda. Ayah menikahi mama sepertinya hanya untuk mencari seseorang untuk memasak dan atau mengurus rumah serta ayah. Ayah dan mama sering ribut, meski ayah tak kerja di PT. Angin Ribut. Hingga akhirnya mama tak tahan, aku kini hidup berdua bersama mama.

Pekerjaan mama hanyalah sebagai petugas di perpustakaan daerah. Apabila di rumah, juga sering mengurus kebun. Sesekali aktif di kegiatan ibu – ibu. Ketidakbahagiaan membuat mama menjadi overprotektif kepadaku. Kenyataan ini membuatku memilih untuk melanjutkan pendidikan selepas sma di kotaku saja.

Di rumah kadang membuat pusing. Hal – hal kecil saja bisa membuat mama marah. Kadang aku membantah, namun malah membuat mama tak mau bicara padaku. Akhirnya aku mengalah. Aku hanya ingin hidup tenang.

Kuceritakan setetes mengenani aku. Wajahku biasa saja, berkacamata -namun bukan kacamata kuda-, akibat keadaan orang tuaku, aku menjadi minder hingga belum pernah merasakan pacaran. Aku sedikit lebih tinggi dari mama.

Tubuh mama agak gendut, montok. Memakai pakaian apa pun selalu terlihat kalau susu mama tak bisa ditahan oleh bh.

Balik ke cerita, tiba – tiba aku merasakan sakit di bagian testisku. Awalnya pagi hari, namun makin lama makin sakit. Malamnya aku mencoba masturbasi hingga keluar. Meski tak sesakit sebelumnya, namun tetap sakit. Aku bingung. Kontolku masih keras. Kucoba masturbasi lagi hingga tiga kali, akhirnya rasa sakit itu sirna. Anehnya, pejuku seperti tak pernah kering, selalu banyak jika keluar. Setelah beberapa minggu, aku mulai takut. Jangan – jangan ada yang tidak beres.

Ke dokter tentu aku malu. Bahkan aku tak pernah ngomong sesuatu yang berbau seksual pada mama. Mama memang sangat konservatif. Namun karena ini menyangkut kesehatanku, aku harus memberanikan diri. Apalagi aku tak mau membicarakan ini kepada teman – temanku.

Malamnya, aku sedang membaca majalah sedang mama merajut. Mama melarangku menonton tv kecuali di kamarku sendiri.

“Mah, Yusup pingin bicara.”
“Apa sayang?”
“Tapi Yusup malu mah”
“Bicara yang bener,” suara mama mulai tegas.
“Ini agak pribadi mah.”

Mama menghentikan rajutannya, matanya mulai menatapku serius. “Kamu punya masalah sama gadis?”
“Bukan mah. Lebih ke kesehatan pribadi.”
“Bicara aja gak usah malu.” Mama mulai kembali merajut.
“Ini mah. Ee... Kemaluan Yusup...”
“Iya, kenapa?”
“Testis Yusup”
“Iya,” suara mama lembut. Hm, tidak terduga.
“Testis yusup sakit mah. Yusup takut kena penyakit”
“Apa kamu main sembarangan sama wanita terus tertular sesuatu?”
“Enggak mah. Yusup gak pernah gituan.”

Mama diam sebentar. “Sudah berapa lama sakitnya?”
“Semingguan kira – kira.”
“Seminggu? Kenapa gak bilang dari kemarin?”
“Yusup malu mah.”
“Mama gak tau tentang itu. Tapi lebih baik kita ke dokter. Tapi jangan ke dokter yang biasa. Ntar muncul gosip yang aneh – aneh. Kita ke dokter lain aja.”

***

Dua hari kemudian kami duduk di ruang tunggu sebuah klinik. Saat masuk, ternyata dokternya perempuan. Namun bukan gadis bertudung merah yang telah menjebak hati seorang vokalis.

Aku dan mama duduk di kursi, menghadap bu dokter. Dokter itu kutaksir berusia lima puluhan. Gendut, berkacamata serta sudah mulai beruban. Namun wajahnya tidak jelek.

Dokter melihat mama, kemudian aku. “Selamat datang. Saya dr. Tari. Ini Yusup ya?” Dokter Tari menatapku. Aku menganguk.

“Mamamu sudah cerita tentang keluhanmu. Namun sebaiknya kamu ceritakan lagi biar jelas. Gimana, mau kan?”
“Eh, Iya...” aku malu – malu. Lalu kuceritakan keluhanku. Sementara dokter mendengar dan mencatat.

“Melihat kondisimu yang masih muda, terdapat pelbagai macam kemungkinan,” dokter menatapku, kemudian menatap mama. Dokter berbicara tanpa merasa malu, penuh percaya diri. Sepertinya masalah seksual merupakan makanannya sehari – hari.

“Mungkin ini hanya salahsatu fase yang terjadi pada remaja, namun begitu kita mesti melakukan tes. Mari ke kasur.”

Aku melangkah ragu. Lalu berbaring di kasur.

“Buka celananya.” Dokter bicara sambil menutup tirai. Membuat mama tak bisa melihat kami.

Kubuka ikat pinggang, lalu kancing celana dan sleting. Dokter memakai sarung tangan karet. Lalu dokter mencoba untuk menurunkan celana. Aku mengangkat pinggangku agar memudahkannya. Akhirnya celanaku hanya selutut.

“Santai saja ya.”

Kurasakan tangan dokter menyentuh dan mengangkat kontolku. Lemas tentu saja. Dokter meremas lalu menarik kontolku hingga mentok. Merabai testisku. Setelah itu melepas tangannya.

“Saat penis atau testis dipegang, apa terasa sakit?” dokter menatapku sejenak.
“Tidak. Tapi masih terasa sakit di testisku. Biasanya hilang setelah selesai ngng ngngna masturbasi.”
“Oh gitu.” dokter menatapku lalu menjilat bibirnya. Aku merasa jilatan di bibirnya agak lama. Entah benar atau karena aku canggung.
“Baiklah, pakai kembali celananya. Setelah itu silakan duduk kembali.” Dokter melepas sarung tangan, mencuci tangan di wastafel dan kembali ke kursinya.

Aku memakai celana lalu ikut duduk di samping mama. Entah kenapa aku masih memikirkan cara dokter menjilat bibirnya.

“Secara fisik normal.” kata dokter. “Namun kita mesti mendapatkan sampel darah dan sperma.”
“Oke,” kataku takut.

Dokter lalu menatap mama, “bagaimana, tidak apa – apa bu?”

“Silakan saja dok,” jawab mama.”
“Tapi pertama, dokter harus menanyakan beberapa pertanyaan dulu.” Dokter melihat kepadaku. “Kamu memiliki pacar hari ini atau setidaknya setahun belakangan?”
“Tidak.”
“Pernah pacaran dengan wanita tuna susila?”
“Tidak.”
“Setidaknya dalam setahun, pernah berhubungan seksual?”
“Tidak.”

Dokter lalu kembali mencatat.

“Kemungkinan ini merupakan fase pubertas yang mulai dilalui. Memang beberapa anak mengalami rasa sakit dan beberapa tidak. Dalam hal ini kamu termasuk yang memiliki rasa sakit. Untuk sampel darahnya nanti bisa temui suster di luar ruangan ini. Seminggu kemudian hasilnya bisa didapat.

“Sekarang soal sperma, saat kamu bilang banyak mengeluarkan sperma, ibu perlu catatan berapa banyak kamu bisa memproduksinya.” Dokter menatap mama, lalu menatapku.

“Sekali lagi ibu katakan penting untuk mengukurnya. Maka dari itu Ibu berikan ini.” Dokter mengambil sesuatu dari laci dan menaruh di meja. Ternyata sejenis gelas plastik bening. Tingginya kira – kira dua belas centimeter sedang diameternya kira – kira delapan centimeter.

“Sebaiknya kamu tak menggunakan kondom saat masturbasi karena beberapa sperma akan terjebak di kondomnya. Salurkan sperma ke gelas ini, nanti tulis berapa ukurannya. Sudah ada garis ukuran di gelas ini. Bisa ya?”

“Iya.”

“Yang perlu diingat, saat kamu masturbasi, kamu perlu mengarahkan penis ke gelas ini. Pastikan agar tak ada yang berceceran walau secuil. Setelah itu, tulis hasilnya pada formulir ini,” dokter kembali meletakan beberapa lembar formulir di meja. Di lembar itu terdapat kotak untuk tanggal, waktu dan kuantitas.


“Untuk penelitian, ibu perlu sampel setiap hari selama dua minggu. Setelah dua minggu, kita konsultasikan lagi. Setelah melihat hasilnya, bisa jadi tes ini dihentikan atau bisa jadi diteruskan lagi. Jelas ya.”


Aku dan mama mengangguk.

“O ya. Sebelumnya setiap kami meminta pasien untuk mendapat sampel ini, setiap pria dibantu pasangannya. Pacar maupun istri. Karena susah bagi pria untuk memfokuskan pensi ke gelas ini saat masturbasi. Dalam hal ini,” dokter menatapku lagi. “Ibu harap kamu bisa melakukannya. Namun apabila ternyata sulit,” sekarang dokter menatap mama. “mungkin kamu bisa dibantu mamamu. Karena hal ini murni untuk kesehatan”

Dokter cukup bicara namun tetap menatap mama.

“Bagaimana bu, apakah anda tidak keberatan?”

Aku melirik mama yang tampak tidak nyaman. “Akan saya coba bantu dok. Ini kan demi kesehatan anak saya. Asal anak saya sembuh,” suara mama terdenga kesal seperti saat mama mesti melakukan sesuatu yang luar dari pada biasa.

“Baiklah,” dokter kini menatapku dan tersenyum. “Jangan sungkan meminta bantuan mamamu. Dokter rekomendasikan agar mamamu bisa membantu mengumpulkan sperma dan melakukan pengukuran sedari awal agar tak terjadi kesalahan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Ibu perlu pengukuran yang tepat agar hasilnya akurat, tajam dan terpercaya.”

“Iya.”

Dokter lalu menyerahkan gelas dan formulir ke mama. Setelah itu kami keluar ruangan dokter. Mama menunggu sementara aku diambil darah.

Terasa keheningan yang mencekam di mobil saat pulang. Mungkin akibat kata – kata dan perintah dokter. Mama bakal membantuku masturbasi, bahkan melihatku keluar. Selama ini aku selalu melakukannya sendiri tanpa mau ada yang tahu. Tapi kini, aku malu sekaligus senang.

Keheningan akhirnya pecah oleh suara mama yang bicara tegas tanpa malu. “Kita harus melakukan apa kata dokter agar kamu kembali normal. Mama mungkin tak merasa nyaman tapi mama semua harus dilakukan.”

“Iya, makasih mah.” suaraku canggung.

“Kita bicarakan lagi dirumah soal pengaturan untuk mengumpulkan... eh .. tahu kan... spermamu. Kita bicara sehabis makan. Kita mungkin mulai mengambil sampel esok. Jadi jika kamu mau mempersiapkan diri, bilang saja. Tapi mungkin kita bisa melakukan uji coba malam ini. Agar kamu bisa terbiasa dengan mama saat kamu sedang ng... masturbasi.”

Aku belum pernah mama mengucapkan kata – kata itu. Kontolku jadi tegang. Begitu sampai, kututup selangkangan dengan jaket. Di kamar aku langsung masturbasi hingga keluar banyak. Sejam kemudian aku kembali keluar setelah memikirkan mama yang akan menyentuh kontolku. Testisku tak lagi sakit, kurasa aku masih sanggup masturbasi sekali lagi, tapi kutahan buat nanti.

Kali ini kami makan malam di depan tv. Setelah makan mama bicara, “bereskan semua, setelah itu kembali ke sini.”

Aku beres – beres lalu kembali ke ruang tv.

“Sini duduk di sini.”

Mama duduk di sofa, lalu menyuruhku duduk di sampingnya.

“Kita mesti lakukan apa kata dokter. Karena tak tiap orang mengerti kalau ini demi kesehatan, kamu gak boleh bicarain kecuali sama dokter Tari. Paham?” suaranya tegas seperti biasa.

“Iya mah,” jawabku patuh.

“Sekarang kamu gak perlu malu sama mama. Mama udah ratusan kali liat tubuhmu. Meski mama belum liat lagi saat kamu gede atau saat lagi masturbasi. Apa yang kita diskusikan atau lakukan sekarang murni karena medis. Jadi gak perlu malu sama mama.”

“Iya mah.”

“Sekarang jawab mama. Bagaimana biasanya kamu masturbasi, apa yang membuatmu terangsang?” suara mama layaknya seorang guru yang sedang mengajar.

“Eh...” aku mencoba tak malu, namun belum berhasil.

“Ayo, jangan malu,” mama mencoba menyemangati. “Mama tahu remaja seusiamu udah pernah liat porno.”

“Iya mah. Yusup punya film porno. Setelah itu biasanya Yusup masturbasi di kamar mandi. Sperma Yusup muntahkan ke handuk khusus. Biar gak tercampur sama handuk biasa.”

“Mama senang kamu suka kebersihan. Namun mama tak mamu membantu saat kamu sedang melihat yang seperti itu. Mama bahkan gak mau ada saat kamu sedang nonton.”

Aku tersipu malu.

“Tapi mama mesti bantu kamu agar spermamu masuk ke gelas. Jadi mama mesti liat kamu telanjang dan liat penismu ereksi, memegang dan memberi rangsangan hingga spermamu masuk ke gelas.

“Kamu juga perlu rangsangan secara visual, kita tak bisa menghindarinya. Karena kamu udah jujur sama mama, mama juga akan jujur sama kamu. Ayahmu dulu suka kalau mama memakai pakaian yang merangsang sebelum memulai hubungan badan.” Mama berhenti sejenak. “Mama tak keberatan kembali memakainya demi kamu. Jika itu bisa membantumu. Jadi mama akan coba berpakaian untuk membantu rangsanganmu agar kamu bisa cepat keluar.”

Kontolku benar – benar sudah keras saat mama bicara. Aku tak percaya pendengaranku. Jadi mama suka memakai lingerie. Apalagi mama siap memakainya lagi.

“Kamu setuju?”

Tentu saja aku setuju, tapi aku mencoba menahan agar tetap terlihat tenang. “Iya mah, Yusup setuju jika mama tak keberatan.”

“Sekarang kita tentukan aturannya. Mama mungkin membiarkan kamu menyentuh mama jika itu bisa membuatmu cepat keluar. Mama gak ingin aktifitas ini mengganggu aktifitas kita sehari – hari, maka mama ingin agar kamu cepat keluar. Tapi kamu boleh nyentuh setelah minta izin dulu ke mama. Atau setelah mama bilang kamu boleh dan di mana yang boleh kamu sentuh.”

Aku menelan ludah.

“Kedua, biar gak baku. Sebaiknya kita kesampingkan kata – kata penis dan sperma. Kalau kamu mau, kamu boleh berkata layaknya anak seusiamu, misal kontol, momok, susu, pantat, dengan seizin mama tentu. Paham?”

Aku tak percaya mama mengeluarkan kata – kata itu. Aku hanya bisa mengangguk dalam keterkejutanku.

“Sekarang, ada yang mau kamu tanyakan?”

Aku masih linglung menghadapi kenyataan ini, “sekarang Yusup gak bisa memikirkannya mah. Tapi mungkin nanti.”

“Bagus. Sekarang kita rencanakan untuk mengambil sampel di pagi dan malam hari. Berapa kali biasanya kamu keluar saat malam?”

“Biasanya tiga kali.”

“Cukup banyak. Sekarang coba kita lihat apa yang terjadi. Kamu mesti bangun lebih awal kalau mama kerja agar kita bisa melalukan tes ini.”

“Iya mah.”

“Apa kamu perlu keluar sekarang?”

Tentu saja, kontolku sudah tegang. “Iya mah.” aku berusaha terdengar sopan dan dingin.

“Sekarang kamu ke kamar, lepas pakaianmu lalu berbaring di kasurmu. Oh ya, sebelumnya bersihkan dulu di kamar mandi. Setelah itu tunggu mama datang membawa gelas.”

Aku bangkit. Mama pasti melihat gundukan di celanaku namun mama tak berkata – kata. Gak masalah kan sebentar lagi mama bakal melihat seluruhnya. Aku naik lantas ke kamar mandi membersihkan diri. Setelah itu aku telanjang dan berbaring di kasur. Aku mencoba membayangkan apa yang bakal mama pakai.

Setelah beberapa saat, terdengar ketukan di pintu.

“Kamu siap nak?”

“Iya mah.”

Pintu terbuka. Kulihat mama memakai bh dan cd hitam. Mama melihat kontolku yang tegang. Mama menarik nafas.

“Kamu udah terangsang ya. Sepertinya kamu tak butuh rangsangan lagi saat ini.”

Aku memperhatikan saat mama melangkah mendekatiku. Bhnya jelas tak bisa menampung susu mama yang besar. Bh dan cdnya merupakan tipe biasa, cuma warnanya saja yang hitam. Mama lalu berdiri di samping sementara aku berbaring di kasur. Tangannya memegang gelas.

“Kamu benar – benar tumbuh, beda dengan saat mama terakhir liat kamu telanjang,” kata mama sambil menatap kontolku. Lalu mama menatap mataku. Aku seperti melihat tatapan yang belum pernah kulihat sebelumnya.

“Sekarang mama akan kocok kontolmu agar pejumu masuk ke gelas. Kamu boleh menyentuh bagian bawah mama jika itu bisa membantumu.”

Mama berdiri sejajar dengan dadaku lalu membungkuk hingga pantatnya mudah kuraih. Kepalanya ke arah kakiku. Tangan mama mulai membelai kontolku. Tangan lainnya meletakan gelas diantara pahaku. Tapi gelas itu tak menyentuhku.

Kulihat susunya terbungkus bh tergantung di atas perutku saat mama menyentuhku. Aku menyadari susunya mungkin lebih besar dari yang terlihat.

“Ayo, kamu boleh menyentuh pantat mama. Tapi kamu mesti bilang kalau mau keluar.”

Aku menatap pantat mama. Bulat dan indah dicengkram cdnya. Belaian tangan mama di kontol membuatku serasa di nirvana. Lembut pada awalnya, sentuhan mama mulai berganti dengan kocokan. Tangan kiriku mulai membelai pantat mama melingkar. Aku ingin meremasnya namun tak berani.

Aku sadar pertahannku takkan lama. Baru kira – kira satu menit aku lantas bicara, “Yusup mau keluar mah.”

Mama meraih gelas lalu memasukan helm kontol ke gelas sementara tangan lain tetap mengocok kontolku.

Aku memejamkan mata sambil tetap mengelus pantat mama. “Oh... Yusup keluar....” muncratlah spermaku.

Tangan mama membuat kontolku mengarah ke gelas. Setelah selesai, mama mengusap kontol hingga tetesan sisanya berada di telunjuk mama. Lalu mama masukan ke gelas.

“Bagus nak. Kita punya sampel,” kata mama sambil menunjukan gelas penuh peju. Peju itu mencapai garis tertentu yang tertanda di samping gelas itu. “Kegiatan ini berjalan lancar. Kamu bersih – bersih dulu, mama juga mau bersih – bersih.” Mama bangkit lalu berjalan menuju pintu. Mataku tak lepas dari pantat mama yang tak mau diam saat mama melangkah. Aku bertanya – tanya apakah aku bakal bisa melihat lebih dari cd biasa.

Apa yang akan terjadi selama dua minggu ini? Hm... sungguh takkan terduga.

Minggu, 27 September 2015

Si Imut Cindy Part 3

 


Aku tidak bisa tenang selama di sekolah, pikiranku terus melayang membayangkan apa yang akan aku lakukan nanti pada Cindy. Ya... sesuai janji, hari ini aku akan ke rumah Cindy lagi untuk mengajarkan les privat kepadanya. Bahkan aku sudah dimintai tolong tante Rasti untuk sekalian menjemput Cindy pulang sekolah. Ahh… aku ingin cepat-cepat pulang! Sudah tidak sabar!

Saat jam pelajaran usai, aku langsung mengendarai motorku menuju ke sekolahnya Cindy. Aku sepertinya sudah agak telat, sebagian besar murid sudah banyak yang pulang. Di depan gerbang, aku lihat gadis kecilku itu masih setia menungguku.

“Abaaaang, lama banget siiih…!?”

“Maaf Cindy, abang juga baru pulang, jangan marah dong… maafin yah…”

“Huuu… iya deh Cindy maafin”

“Ya udah, yuk pulang”

“Gak mau langsung pulang, jalan-jalan dulu yuk bang…”

“Lho, mau kemana emangnya? Nanti abang dimarahin mamanya Cindy…”

“Hihihihi…. Biarin, weeek... Pokoknya jalan-jalan dulu” Duh, dia malah tertawa cekikikan, imut sekali. Aku tentunya tak menolak ajakan Cindy ini. Akupun setuju untuk mengajaknya berkeliling dulu dengan motor. Dia duduk mengangkang, membuat rok merahnya jadi tersingkap hingga memperlihatkan pahanya.

Kami kemudian berkeliling kota dengan mengendarai motor. Dia terus memelukku dari belakang, bahkan sering menyandarkan kepalanya di punggungku yang membuatku jadi terus berdebar-debar.

“Abaaaang…. es kriiiiiimm….!” Teriaknya tiba-tiba mengejutkanku, aku sampai ngerem mendadak dibuatnya.

“Apaan sih Cindy?”

“Itu… es kriiim, beliin bang…” pintanya sambil menunjuk gerobak es krim keliling di pinggir jalan.

“Cindy mau es krim?”

“Iya… beliin yah… abang harus beliin pokoknya karena udah telat jemput Cindy!” ujarnya memaksa.

“Iya deh iya…”

“Yey! Yuhuuuuu!” Duh, girang amat nih bocah. Akupun membelikannya es krim, mana dia minta yang paling mahal pula. Aku juga membeli satu untukku, tentunya yang harganya lebih murah. Kamipun makan bareng di tepi jalan sambil melihat kendaraan lewat. Cindy ini walau udah kelas enam SD tapi makan es krim masih belepotan juga.

“Duh, kamu ini makannya gimana sih…” ucapku langsung mencium dan menjilati tepi bibirnya yang belepotan krim coklat tersebut. Dia hanya tertawa geli. Arrghh…. Kenapa gadis ini imut bangeeettt!?? Aku kemudian iseng, mulutku secepat kilat mencaplok es krim di tangannya.

“Ngh… abaaaaang, kok ngambil es krimnya Cindy sih? Punya abang kan ada… Tuh kan es krim Cindy jadi tinggal dikit” protesnya.

“Abang kan cuma gigit dikit aja. Cindy pelit” balasku.

“Nghh… gak mauuuuu! Awas yah…” Cindy sepertinya tidak mau kalah, dia berusaha membalas mencaplok es krimku. Untung aku sigap menjauhkan es krim punyaku dari gapaiannya.

“Ih… abang curang, jahat!”

“Hehe, iya deh… abang minta maaf. Nih kalau mau ambil” ujarku menawarkan es krimku.

“Gak mau!”

“Kalau gitu abang beliin lagi deh”

“Gak usah!”

“Cindy marah ya?” tanyaku. Dia hanya memeletkan lidah. Jelas kalau dia tidak benar-benar marah padaku. Tapi aku tetap juga membelikannya es krim lagi. Dasar Cindy, tadi dia bilang gak usah, tapi tetap juga es krim baru itu dihabiskan dengan lahap. Gemesin!

Setelah lanjut berkeliling sebentar, kamipun memutuskan untuk pulang. Dia sebenarnya ngajak masuk ke mall pengen main timez*ne. Gila aja, tentunya aku tolak. Bisa-bisa diomelin beneran tante Rasti nanti.

Saat perjalanan pulang, aku tak menyangka kalau tiba-tiba turun hujan.

“Abang… hujaaaaaan”

“Iya nih… mau berteduh dulu?”

“Hmm… gak usah deh… udah dekat kan bang?”

“Iya… udah deket sih. Jadi lanjut terus nih?”

“Lanjut aja deh… asik tau sesekali mandi hujan, hihihi”

“Asal Cindy jangan sakit aja nanti, hehe”

“Gak bakal”

Kamipun tetap lanjut menerjang hujan. Ah, jadi basah semua. Cindy justru kesenangan mandi hujan. Betul-betul gadis yang lincah dan periang. Bikin aku gemas saja. Lihat saja nanti, akan ku gerepe-gerepein lagi gadis ini sampai puas.

Kami akhirnya sampai juga di rumahnya dengan kondisi basah kuyub. Aku kemudian dipersilahkan Cindy duduk di ruang tamu, dia lalu mengambilkan handuk untukku untuk mengeringkan badan.

Aku berharap kalau tidak ada orang di rumah sehingga aku bisa bebas bermanjaan lagi dengan gadis kecilku ini. Namun ternyata tante Rasti ada di rumah. Tante Rasti muncul dari ruang belakang dan ikut bergabung dengan aku dan Cindy di ruang tamu. Aku terpesona melihat kecantikan tante Rasti yang mengenakan daster tipis, tapi aku lebih terpesona lagi melihat anak gadisnya dengan seragam merah-putih yang basah itu.

"Duh… kalian sampai basah-basah gini”

“Iya… hujan tante, hehe”

“Kenapa gak berteduh?”

“Biarin aja Ma… mandi hujan, hihihi” jawab Cindy. Tante Rasti hanya geleng-geleng kepala.

“Jadikan kamu ngajarin Cindy?" tanya tante Rasti kemudian.

“Ja-jadi kok tante”

“Hihihi, tapi belajarnya setelah mandi aja yah…”

“Hah? Setelah mandi tante?” tanyaku bingung.

“Iya… kamu hujan-hujanan sampai bajumu basah kuyub gitu… Kamu mandi dulu gih, tante ada kok baju cowok yang seukuran dengan kamu”

“Eh, i-iya deh tante”

“Cindy juga basah tuh bajunya. Kamu ajak Cindy mandi sekalian deh. Mau kan?” tanya tante Rasti sambil melirik dan senyum-senyum ke arahku. Aku menelan ludah mendengarnya! Tante Rasti membolehkan aku mandi bersama anak gadisnya!

“Be-beneran tante? B-boleh?” tanyaku ragu.

“Iya… emang kenapa gak boleh sih? Asal kamu gak macam-macam aja sama anak tante di sana. Lagian Cindy udah sering juga kok liat penis, hihihi”

“Hehe…Lihat penis pelanggan-pelanggan tante yah? Cindy sering yah lihat mamanya ngentot?” tanyaku.

“Iya sering… iya kan sayang?” tanya tante Rasti balik pada Cindy.

“Iya Ma… Cindy sering lihat kontol” jawab Cindy yang dengan lantangnya menyebut ‘kontol’ di hadapan mamanya. Tante Rasti yang mendengar putrinya berkata jorok seperti itu malah merespon dengan tertawa kecil. Suasana yang bikin dadaku berdebar.

“Ih… anak mama ini udah bisa nyebut ‘kontol’ Tapi kalau disuruh megang kontol gak mau, hihihi” ujar tante Rasti sambil mengelus pipi anak gadisnya. Cindy hanya senyum-senyum malu.

“Hah? Disuruh pegang kontol?” tanyaku terkejut.

“Iya… beberapa pelanggan tante ada tuh yang minta Cindy ikut ke dalam kamar waktu tante dientotin. Mana dia nyuruh Cindy ngocokin penisnya segala, tapi Cindynya gak mau,” terang tante Rasti.

“Te-terus tante?

“Ya kalau Cindy emang gak mau, tante juga gak bakal bolehin” lanjut tante Rasti.
Fiuh… aku lega mendengarnya.

“Geli Ma kalau pegang” kata Cindy manja.

“Hihihi… Iya deh… Gih sana mandi, malah ngobrol. Pastiin Cindy mandinya bersih yah…”

“I-iya tante…”

“Ayo Cindy sana mandi, ajak abangmu ini gih…” suruh tante Rasti pada putrinya ini.

“Yuk bang…” ajak Cindy dengan polosnya mengikuti perkataan mamanya menarik tanganku. Aku ikut-ikut saja ditarik gadis belia imut ini ke dalam kamar mandi. Badanku lemas karena saking senangnya.

Di kamar mandi, aku yang sudah sangat horni langsung saja menelanjangi tubuhku hingga bugil total. Ku pandangi tubuh Cindy, dia memang terlihat seksi dengan seragam SD nya itu. Akupun iseng mengguyurnya dengan air. Membuat seragamnya yang masih basah itu jadi semakin basah olehku.

“Ngghhh… abaaaaang… kok nyiram Cindy sih? Cindy kan masih pakai baju”

“Hehehe, abisnya kamu gemesin”
Seksi banget Cindy dengan memakai seragam sekolah yang basah begini. Rambut panjangnya yang juga basah terurai membuat dia semakin imut dan menggairahkan saja. Akupun jadi kembali mengguyur Cindy berkali-kali lagi. Cindy malah tertawa cekikikan karena perbuatanku. Gemesin banget.

“Abaaaaang… Udaaaaah”

“Hehehe, iya deh… kalau gitu ayo sekarang buka bajunya semua” pintaku.

“Iyah…”

Cindypun mulai membuka seragam sekolahnya, mulai dari kemeja putih, rok merah, tanktop, hingga celana dalamnya. Setiap detiknya membuat aku belingsatan. Proses Cindy membuka seragam Sd-nya itu ku pandangi tanpa berkedip. Ahh… Apa aku sebernafsu ini pada gadis dibawah umur?? Namun bagiku meskipun Cindy masih belia, dia memang tampak menggairahkan.

Dia mulai mengguyur badannnya dengan air, membuat tubuhnya telanjangnya kini menjadi basah. Baru beberapa kali dia mengguyur saja sudah membuat aku tidak tahan untuk memeluknya.

“Duh… Cindy… kamu itu memang imut banget” ujarku langsung memeluk tubuh Cindy dari depan. Langsung saja aku memaju-mundurkan pinggulku sehingga penisku menggesek-gesek pada perutnya.

“Nghh… abaaang… geliiih…” erang Cindy manja, namun dia justru balas memelukku. Tangan mungilnya kini juga memeluk pinggangku. Arghh… sensasinya luar biasa. Penisku ngaceng sengaceng-ngacengnya!

Aku tidak hanya menggesek pada perutnya, tapi kini juga berani mencoba menempelkan penisku di sela pangkal pahanya, tepat di bawah vaginanya yang tampak masih sangat rapat itu. Cindy tampak heran, tapi tetap membiarkanku. Aku lalu mulai menggesekkan penisku di sana. Rasanya sungguh nikmat. Aku yakin wajahku memerah saat ini karena saking horninya. Tapi ku lihat wajah Cindy juga memerah. Apa dia juga merasakan horni? Sepertinya begitu walaupun mungkin dia masih tidak mengerti apa sebenarnya rasa yang sedang dia alami sekarang.

Usia Cindy sudah 11 tahun. Dia mungkin sudah pernah datang bulan, kalau begitu tentunya dia juga telah bisa terangsang. Aku semakin yakin kalau dia memang juga horni saat merasakan nafasnya menjadi semakin berat. Cindy juga sesekali mendesah pelan. Ahhh… Mendengar desahan dari mulut mungilnya semakin membuat aku melayang. Membuat gesekan penisku semakin kencang saja!

Sedang asik-asiknya menggesek, tiba-tiba pintu kamar mandi diketuk dan dibuka dari luar. Tante Rasti! Aduh… aku lupa mengunci pintu! Untung saja aku sempat melepaskan tubuhku dari Cindy. Kalau tidak, bisa tertangkap basah kalau aku sedang mencabuli anak gadisnya yang masih dibawah umur ini. Meskipun begitu, kemaluanku yang menegang tidak dapat disembunyikan.

“Mama ngapain sih ngangguin Cindy mandi aja?” tanya Cindy dengan wajah bete. Aku tidak menyangka kalau Cindy ternyata merasa terganggu ketika tadi sedang asik-asiknya aku cabuli. Ternyata benar Cindy menikmatinya!

“Hihihi, maaf sayang… Ini mama mau ngantar handuk, masa mandi tapi gak bawa handuk sih??” ujar tante Rasti sambil masuk lalu menggantungkan handuk itu di gantungan pakaian yang ada di dinding kamar mandi. Ugh… tante Rasti ini pake masuk ke kamar mandi segala, aku kan jadi grogi karenanya. Ada dua wanita cantik bersamaku di dalam kamar mandi!

“Kalian udah sabunan? Udah shampo?” tanya tante Rasti.

“Be-belum tante”

“Lho… dari tadi ngapain aja?” tanya tante Rasti penuh selidik, aku panik tidak tahu harus menjawab apa! Namun justru tersungging senyuman kecil dari wajah tante Rasti.

“Gak bersih dong berarti kamu mandinya… masa dari tadi belum sabunan sih?”

“Belum sempat aja kok tante… Ini mau sabunan” jawabku mencari alasan membela diri.

“Ya sudah, sabunin anak tante yang benar kalau gitu.. Coba tante pengen lihat”
JEDAAARR! Tak kukira tante Rasti akan berkata seperti itu, namun tentu saja aku senang bukan main mendengarnya. Dengan gemetaran karena saking girangnya akupun mengambil sabun. Cindy kemudian mendekat ke arahku, tanda dia setuju-setuju saja disabuni olehku sambil dilihatin mamanya.

“Sabuni anak tante yang bener yah… Awas lho kalau gak bersih, hihihi” goda tante Rasti.

“i-iya tante…”
Akupun mulai menyabuni badan gadis belia ini. Sambil menyabuni Cindy, penis tegangku sering menampar-nampar dan menggesek di tubuhnya, bahkan kadang ku lakukan dengan sengaja. Tentunya hal itu terlihat oleh tante Rasti, bagaimana tubuh anak gadisnya ini sedang digesek oleh penisku, bagaimana seluruh lekuk tubuh telanjang putrinya ini termasuk buah dada mungil Cindy digerayangi dengan dalih menyabuni oleh tanganku.

“Itunya juga dibersihin dong…” suruh tante Rasti kemudian.

“I-itunya yang mana tante?”

“Tempat keluar pipisnya Cindy. Duh, kamu ini… kan udah tante bilang Cindy harus mandi yang bersih”

“Eh, i-iya tante”
‘Glek…’ Dengan canggung akupun membelai dan menyabuni selangkangan gadis ini seperti yang disuruh mamanya. Tante Rasti menyaksikan semua perbuatanku pada putrinya. Sungguh keadaan yang aneh, aku menyabuni anak gadis dibawah arahan ibu kandungnya sendiri! Arghhh! Apa-apaan suasana mesum ini!?

“Ngh… geli….” erang Cindy manja yang membuatku jadi semakin bernafsu menggerayangi kelaminnya, tak peduli mamanya sedang menyaksikanku. Nafas Cindy kembali menjadi berat. Aku terus memainkan tanganku di sana. Sesekali aku kembali menggerayangi bagian tubuhnya yang lain seperti buah dadanya, kemudian kembali ke vaginanya. Begitu terus berulang-ulang. Jelas kalau ini bukan lagi terlihat seperti sedang menyabuni, tapi mencabuli.

“Nahh… Sekarang gantian Cindy yah yang sabunin abangnya…” suruh tante Rasti kemudian.

“Iya ma…” jawab Cindy pelan yang wajahnya sedang memerah itu. Akupun berhenti menggerayangi Cindy. Tangan-tangan mungil Cindy kini gantian menyabuni tubuhku. Tubuhku terasa bergetar merasakan jari-jari kecilnya menggosok-gosok badanku. Mana Cindy sesekali juga tersenyum padaku. Gak tahan.

“Kontolnya juga dong sayang…” ucap tante Rasti lagi. Cindy mengangguk ragu, tapi dia tidak langsung melakukannya, mungkin masih geli. Namun akhirnya Cindy mau juga. Dengan agak canggung dia pegang batang penisku, lalu mulai menyabuninya dari batang, buah zakar, hingga rambut kemaluanku. Bagiku ini sebuah kenikmatan luar biasa karena bisa merasakan dikocok gadis cantik jelita dibawah umur seperti Cindy.

“Hihihi.. kamu ternyata mau juga megang kontol” goda tante Rasti pada putrinya. Cindy hanya tersenyum malu sambil terus mengusap-usap tangannya di batang penisku. Ada perasaan bangga bagiku jadi yang pertama kali dipegang penisnya oleh tangan Cindy, hehe.

“Tapi kurang benar tuh… sini mama ajarin” ujar tante Rasti mendekat padaku. Tante Rasti mau ngapain? Jangan-jangan akan…

Tante Rasti menggenggam kontolku! Lalu mulai mengocok pelan penisku maju-mundur!

“Gini sayang… kocokin yang benar kaya gini”

“Gitu yah Ma??”

“Iya… Sini kamu coba” suruh tante Rasti. Dia kemudian menuntun tangan putrinya ke batang penisku dan memaju-mundurkannya. Arghh gila! Mataku terpejam, melayang-layangku dibuatnya.

“Udah benar Ma?”

“Sudah kok, anak mama memang pinter… terusin yah… tuh Bang Beni keenakan disabuni sama kamu, hihihi”

“Ngmh.. Iya Ma…”
Cindy terus mengocok penisku. Semakin lama kocokannya semakin teratur dan semakin lihai. Cindy sungguh cepat belajar. Sepertinya dia punya bakat yang diturunkan dari mamanya.

“Hihihi, anak mama ini kecil-kecil udah genit, udah pandai mainin kontol” goda tante Rasti sambil memeluk Cindy dari belakang.

“Iihhh.. mama”
Sesekali tante Rasti mencium-cium pipi anaknya. Posisi memeluk tante Rasti sedikit membungkuk sehingga wajahnya sejajar dengan wajah imut Cindy. Mereka memang ibu dan anak yang sangat cantik. Arghhhh… situasi yang sangat ganjil namun menggairahkan. Seorang gadis belia imut sedang mengocok penis pria dewasa sambil dipeluk ibu kandungnya dari belakang! Sepertinya aku tidak kuat untuk terus menahan rasa nikmat ini. Pengen muncrat rasanya!

Tante Rasti lalu berbisik pelan ke Cindy sambil melirik ke arahku. Sepertinya dia sedang mendikte Cindy untuk mengucapkan sesuatu padaku.

“Abang…. Suka dikocokin sama tangan Cindy?” tanya Cindy kemudian yang sepertinya meniru bisikan mamanya.

“Suka sayang…”

Tante Rasti lalu berbisik lagi pada Cindy.
“Enak banget yah bang kontolnya Cindy mainin?” Ugh, ucapan yang terlontar dari mulutnya itu membuatku makin pengen muncrat saja.

“Iya Cindy...”

Tante Rasti berbisik lagi. Ampuuun!
“Abang pengen ngentotin Cindy? Abang mau jejalin kontol abang ke memek Cindy? Abang mau bikin Cindy bunting dibawah umur seperti mama Cindy dulu?” ujar Cindy berkali-kali menuruti setiap kalimat yang dibisikkan mamanya. Semua ucapan itu sukses membuatku semakin ingin muncrat.

Tante Rasti berbisik lagi ke Cindy. Sepertinya setelah yang ini aku tidak akan bertahan lagi.
“Maaa… Cindy boleh kan ngentot sama abang ini??” ujar Cindy lantang, Tak tahan lagi!

“Crooooooootttttt Croooooooooooooootttt” Pejuku muncrat berhamburan. Menghantam tubuh bagian depan gadis belia cantik imut ini dengan deras berkali-kali. Sungguh nikmat! Mana mamanya masih senyum-senyum memeluk Cindy dari belakang, membuat efek kenikmatan itu jadi bertambah berkali-kali lipat.

Saat masih muncrat, ku lihat tubuh Cindy juga menegang. Ternyata sedari tadi tante Rasti juga membelai-belai vagina Cindy.

“Maaaa… Cindy pengen pipiiiiiis” Cindy memekik manja yang diikuti tubuh mengejang. Cindy orgasme! Sungguh takjub aku melihat pemandangan ini. Orgasmeku terasa lebih nikmat karenanya.

Akhirnya semprotan pejuku berhenti. Tubuh Cindy yang lemas tampak kembali ternoda oleh pejuku, beberapa tetes ada yang terkena kaki dan pakaian tante Rasti juga. Sesaat suasana menjadi hening.

“Aduh.. jadi kotor lagi deh kalian. Mandi lagi yang bersih sana, hihihi” Ujar Tante Rasti kemudian melepaskan pelukannnya dari Cindy. “Baju gantimu nanti tante letakkan di kamar Cindy, jadi langsung aja ke sana ya” ucapnya lagi padaku. Tante Rasti lalu dengan santainya keluar dan menutup pintu kamar mandi. Ah... aku masih tak percaya apa yang baru saja terjadi.

Aku dan Cindypun terpaksa mengulang mandi lagi, terutama Cindy yang bagian depan tubuhnya jelas-jelas kotor oleh spermaku. Namun kali ini hanya mandi biasa saja, walaupun sesekali masih ada juga sih gerepein Cindy.

Setelah selesai mandi aku dan Cindy langsung ke kamar. Karena handuknya cuma satu, hanya aku yang mengenakan handuk sedangkan Cindy bertelanjang bulat menuju kamar. Tante Rasti justru biasa-biasa saja melihat anak gadisnya keluyuran telanjang bulat dalam rumah.

“Kalian langsung belajar kan setelah ini?”

“Iya tante… Setelah pakai baju kami langsung belajar kok” jawabku.

“Kamu belajar yang benar yah sayang… jangan nakal di dalam sana” ujar tante Rasti pada putrinya.

“Iya Mah…”

“Kalau anak tante nakal dihukum aja yah Ben, tante rela kok” ujar tante Rasti kini padaku sambil mengedipkan mata. Duh, ucapan tante Rasti bikin aku gregetan aja.

“I-iya tante…”

Kamipun sampai di kamar. Tentunya berduaan di dalam kamar bersama gadis belia cantik yang telanjang bulat lagi-lagi membuatku tak bisa menahan diri. Sebelum berpakaian, aku memeluk dan menciumi Cindy lagi, bahkan sampai berguling-gulingan di atas tempat tidur. Cindy merespon kelakuanku dengan tertawa cekikikan geli.

Duh, kalau begini terus tidak akan mulai-mulai belajarnya, hehe. Kamipun berpakaian untuk kemudian mulai belajar. Pakaian Cindy saat ini mengenakan tanktop pink dan celana pendek putih. Setelan yang membuat Cindy terlihat sangat cantik dan imut.

Cindy duduk di depan meja belajarnya. Aku hanya mengajarinya dengan buku-buku saja. Aku sih pengennya mengajari Cindy dengan benar, tapi setiap melihat gadis imut ini aku jadi selalu pengen memeluk dan menciuminya. Walaupun dia terlihat serius mengikuti pelajaran namun tetap terlihat menggemaskan.

Sambil belajar, sesekali aku melempar pertanyaan pada Cindy. Tiap kali dia bisa menjawab, aku akan memujinya sambil mengecup pipinya, terkadang mengecup bibirnya. Cindy justru suka dan jadi bersemangat tiap dipuji dan dicium olehku.

Rasa penasaranku pada gadis ini memang tidak akan ada habisnya. Bayangan saat Cindy orgasme di kamar mandi tadi masih membekas di kepalaku, gadis kecil ini terlihat sangat menggairahkan saat itu. Mana mamanya sendiri pula yang membuat anaknya orgasme. Apakah itu berarti aku diizinkan mesumin Cindy sepuasku? Bagaimana kalau aku berbuat lebih dari ini? Bagaimana kalau aku menyetubuhi anaknya yang jelas masih di bawah umur ini?

Ah, hari ini aku mengajarinya dengan benar dulu deh. Tapi…

“Cindy pengen bisa bahasa Inggris kayak Mama Cindy kan? Cindy harus lemesin tuh mulut dan lidahnya, nggak boleh kaku kalo mau bisa bahasa inggris… Pakai ini” ucapku sambil menurunkan resletingku.

Kalian sudah bisa menebak kan apa yang akan terjadi berikutnya?? Begitulah… Cindy akhirnya mengemut, mengulum, serta mengocok penisku dengan mulutnya, yang kali ini dilakukan dengan mata terbuka. Sungguh pemandangan yang ganjil. Seorang gadis 11 tahun sedang menyepong penis pria dewasa!


****
****

Acara belajar privatku dengan Cindy terus berlanjut di hari-hari berikutnya. Kadang aku menjemputnya ke sekolah, kadang tidak. Tentunya sambil aku mengajari Cindy, aku juga mencabuli gadis belia imut ini. Tak jarang Cindy telanjang bulat tanpa pakaian sama sekali selama belajar. Siapa yang bisa konsentrasi mengajar coba!?

Semakin hari Cindy semakin tidak mempermasalahkan lagi perbuatan-perbuatan mesumku padanya. Dari hanya menggerepe, menggesek, mencium, hingga memainkan penisku pada mulut mungilnya. Dia sangat menyukai ketika aku memuncratkan sperma di wajahnya karena dia masih menganggap itu sebagai obat penghalus wajah. Cindy menerima muncratan spermaku pada wajahnya dengan riang!

Cindy juga kembali dibikin merasakan nikmatnya orgasme, kali ini akibat aksi gesek-gesek tanganku pada vagina mungilnya. Cindy menyukainya, bahkan ketagihan karenanya. Malahan dia yang kini sering memintaku untuk membuatnya orgasme dan dipejuin olehku. Aku tentunya senang sekali.

Tante Rasti jelas tahu apa yang kuperbuat pada putrinya. Hampir semua perbuatan cabulku pada Cindy dilihat langsung oleh ibu kandung gadis ini. Meskipun begitu, ternyata tante Rasti tidak berniat mengizinkan aku melakukan lebih dari ini.

“Gak boleh sampai masuk ya…. Tetap kalau umur 18 tahun nanti baru boleh” ujarnya mengingatkan. Aku baru saja selesai mengajarkan Cindy les privat. Saat ini aku dan tante Rasti ngobrol di ruang tamu, sedangkan Cindy masih berada di kamarnya.

“Yah.. tante… boleh dong…” pintaku seakan memohon restunya untuk menyetubuhi anak gadisnya.

“Duh… kamu ini ngebet banget yah? Dia masih 11 tahun lho…”

“Penasaran sih.. Cindy kayaknya juga gak masalah”

“Cindy itu masih kecil, kamu juga belum 18 tahun kan?”

“Tapi aku beneran suka sama Cindy tante…”

“Dasar… gak boleh pokoknya, hanya boleh nempelin aja. Gak boleh lebih” ucap tante Rasti. Aku iyakan saja akhirnya.

Tepat setelah itu tiba-tiba terdengar pintu depan diketuk orang. Ada tamu. Aku penasaran siapa yang datang. Tante Rasti lalu membukakan pintu. Saat pintu terbuka, ternyata yang datang adalah Jaka, temanku yang mengenalkan aku pada tante Rasti. Jaka tidak datang sendiri, dia datang bersama Angga yang biasa sering nebeng pulang denganku.

“Waaahh... Ternyata ini alasan lo gak mau nebengin gue lagi? Ke sini rupanya… Ah… gak bilang-bilang lo bro, haha” ucap Angga padaku.

“Eh, g-gue cuma ngajarin anaknya tante Rasti privat bahasa Inggris kok” jawabku beralasan. Tentu saja dia tidak percaya begitu saja.

“Temanmu yang lain Jaka?” tanya tante Rasti.

“Iya tante… kenalin ini Angga”

Anggapun bersalaman dengan tante Rasti. Kalau dipikir-pikir Jaka ini seenaknya saja bawa orang lain untuk dikenalkan pada tante Rasti, tapi aku tentu saja bersyukur sudah diajak Jaka kesini, sehingga aku bisa kenal dengan tante Rasti dan Cindy.

Sama seperti awal tujuanku datang ke sini, jelas tujuan mereka juga untuk ngecengin tante Rasti. Tante Rasti yang memang baikpun menerima mereka dengan ramah. Dia ladeni setiap candaan maupun gerayangan cabul mereka. Bahkan tante Rasti sendiri yang menggoda mereka hingga membuat mereka jadi mupeng berat.

Semakin lama perlakuan mereka pada tante Rasti semakin cabul. Mereka sudah menggerepe-gerepe ibu muda lonte ini hingga tante Rasti nyaris tak berbusana. Merekapun tanpa segan juga telah mengeluarkan penis mereka, mengocok dan menggesek-gesekkannya pada bagian tubuh ibu muda cantik ini. Aku yang sudah puasa menggerepe tante Rastipun jadi ikut-ikutan.

“Duh, kalian ini kecil-kecil udah mesum semua, hihihi” ucap tante Rasti geli.

“Habisnya tante cantik sih, hehe” balas Jaka.

“Huuu… dasar”
Tiba-tiba tante Rasti melepaskan diri dari kami.
“Sudah dulu ah…”

“Yah… mau kemana tante?” tanya Jaka.

“Tante mau masak makan malam dulu”

“Terus kita gimana tante? Tanggung nih…” protesnya tak tahu diri.

“Ya kalian lanjut coli aja sana, hihihi”

“Yahh… masa coli terus sih”

“Terus apa? Lanjut ngentotin tante?”

“I-iya, hehe”

“Huuu… jangan harap. Cukupin dulu umur kalian 18 tahun dan siapin ongkos tarifnya, hihihi”

“Yaaahhh”

“Hmm… Kalian lanjut ditemani Cindy aja yah… Cindyyyyy… Sini sayaaaang” ucap tante Rasti memanggil Cindy. Ternyata sedari tadi Cindy melihat perbuatan kami pada ibunya. Entah apa yang dipikirkan Cindy melihat aku dan temanku mencabuli mamanya, tapi setahuku dia memang sudah terbiasa melihat yang seperti ini.

“Kamu temani abang-abang ini main yah… Mama mau masak dulu” ucap tante Rasti pada putrinya.

“Nghh… iya mah…” Cindy yang polos menuruti saja permintaan mamanya tanpa protes.

“Kalian lanjutin mainnya dengan Cindy yah…” ucap tante Rasti kemudian pada kami.

“I-iya tante”

“Tapi ingat… jangan paksa Cindy kalau dia gak mau, dan gak boleh sampai gituin anak tante. Gak boleh sampai masuk”

Ucapan tante Rasti membuatku terkejut. Apa sih yang dipikirkan tante Rasti? Walaupun tetap tidak membolehkan Cindy disetubuhi tapi tetap saja gadis ini putri kandungnya. Aku masih tak habis pikir dia juga menyuguhkan putrinya sendiri itu pada mereka untuk dicabuli beramai-ramai. Membuatku miris, merinding serta ngaceng sekaligus! Apa dia terobsesi melihat anak gadisnya dicabuli orang lain?

Tampaknya tidak hanya aku saja yang terkejut, tapi juga teman-temanku ini. Mereka pasti tidak mengira tante Rasti akan menawarkan putrinya. Namun kalau disuguhkan anak gadisnya yang cantik seperti Cindy tentunya mereka juga tidak akan menolak. Mereka pastinya juga penasaran ingin sedikit mencicipi tubuh Cindy walau gadis itu masih belia. Bagaimanapun Cindy memang sangat cantik. Mungkin saat besar nanti mengalahkan kecantikan mamanya.

Merekapun membawa Cindy ke kamarnya. Aku tentu saja ikut. Di dalam kamar kini ada seorang gadis belia bersama 3 orang cowok!

Ada perasaan cemburu yang timbul di diriku karena aku ingin memiliki Cindy untuk diriku saja. Aku tidak ingin dia disentuh oleh pria lain. Aku tidak tahu apa karena aku ingin menang sendiri, atau karena aku sudah jatuh hati pada gadis belia ini. Penisku memang ngaceng berat dibuatnya, tapi aku cemburu berat. Namun kenapa aku malah ikut mereka untuk bersama-sama mencabuli Cindy!? Sialan!

Tampak mereka mulai menciumi dan menjamah tubuh gadis kecilku ini di atas tempat tidur. Cindy mendesah manja menerima perlakuan mereka. Cindy sepertinya jadi ketagihan dibelai sehingga dia diam saja digerepe-gerepe. Cindy memang masih gadis yang polos, dia tentunya masih tidak mengetahui apa sebenarnya rasa nikmat yang sedang dia rasakan. Cindy dengan riangnya meladeni kami layaknya bermain biasa. Gadis ini seakan menikmati dijadikan mainan boneka seks oleh kami.

“Abaaang… peluk dan cium Cindy juga dong… kok diam aja sih?” ucap Cindy kemudian padaku.

“Eh, i-iya…”

“Ayo dong Ben, kita gerepein anaknya tante Rasti ini. Tante Rasti sendiri lho yang nawarin. Gak kalah cantik dan nafsuin kayak mamanya nih cewek” Ucap Jaka dan Angga juga mengajakku. Mereka tentunya tidak tahu kalau aku sudah dapat jatah cukup banyak dari gadis mungil ini.

Dengan perasaan campur aduk akupun ikut menciumi dan menggerayangi tubuh Cindy yang bergelinjang manja. Gadis ini kini sudah tak berbusana karena ditelanjangi oleh kami beramai-ramai, tubuh belianya yang polos habis digerayangi dan diciumi. Aku marah dan cemburu, namun setiap perlakuan cabul mereka pada Cindy justru membuat aku semakin konak dan tak mau kalah.

Cindy kemudian duduk di pangkuan Jaka. Sedangkan aku menerima kocokan tangan Cindy pada penisku. Entah dapat ide dari mana, Angga kini mengambil posisi berdiri di depan Cindy, menggenggam rambut panjang Cindy lalu dieluskan ke rambut gadis itu. Angga memilin dan menyelibungi rambut panjang gadis mungil yang cantik imut ini ke penisnya! Seperti sedang mengentoti rambut Cindy saja.

"Ihh... abang lagi ngapain sih? Kok kontol abang diselimuti pake rambut Cindy sih?" rengeknya manja tapi tetap membiarkan.

"Habisnya kamu imut banget sih Cindy, abang jadi gemas" jawab Angga ngasal sambil terus menggoyangkan pinggulnya maju mundur dengan penis tetap diselibungi rambut Cindy.

"Lucu yah Cindy, bang Angga mainin rambutnya Cindy, hehehe..." ucap Jaka sambil tertawa cengengesan. Sungguh pemandangan yang sangat ganjil terpantul dari cermin bagaimana kami beramai-ramai mencabuli gadis di bawah umur ini.

Aku berkali-kali mengingatkan mereka agar jangan sampai keblablasan. Mereka jelas sekali sekarang sangat horny. Pastinya mereka juga tak mengira kalau mencabuli gadis semuda Cindy terasa senikmat ini. Terutama Jaka yang terlihat sangat ganas menggesekkan penisnya pada permukaan vagina Cindy. Untung saja mereka mau mendengarkanku agar berhenti dan jangan ada yang melakukan posisi itu lagi.


 


Tapi kelakuan cabul mereka pada Cindy masih belum berhenti. Jaka menyuruh Cindy menduduki botol minum plastik yang berisi air dingin dari kulkas, kemudian meminta Cindy menggoyang-goyangkan pinggulnya di atas botol itu sambil mengocok penis kami bergantian.

"Kayak gini bang?" tanyanya sambil menuruti keinginan Jaka.

"Iya... Lonte kecil pinter, hehe" puji Jaka kurang ajar. Tapi Cindy terlihat senang-senang saja dimintai melakukan hal cabul oleh kami. Cindy terlihat sangat cantik dan seksi dengan tubuh telanjang bulat menggoyangkan pinggulnya di atas botol plastik tersebut, mana sambil mengocok penis kami pula. Kadang saat salah satu dari kami tidak mendapatkan kocokan tangan Cindy, maka akan memukul-mukulkan penisnya ke wajah gadis ini. Wajahnyapun jadi basah oleh liurnya sendiri.

Ahh.. Cindy kini seperti lonte kecil saja. Goyangan Cindy semakin lama menjadi semakin cepat, tampaknya dia juga mulai keenakan dengan gesekan botol itu pada permukaan vaginanya. Wajah Cindy sudah mulai memerah serta berkeringat karena dari tadi pastinya kepanasan karena dikelilingi kami. Tapi dia masih terus tersenyum sambil tertawa renyah pada kami. Betul-betul menggemaskan.

"Bang... Cindy mau pipis..." ucap Cindy kemudian.

“Waah… dia mau pipis bro”

“Pipis aja Cindy…” ucapku.

Tak lama kemudian Cindy melepaskan tangannya dari penis kami, tapi tetap terus menggoyang-goyangkan pinggulnya di atas botol minuman itu. Kamipun mengocok penis kami di depan wajahnya, siap membukake wajah gadis belia yang cantik serta imut menggemaskan ini.

"Baaang.. Cindy pipis yaaah... gak tahaaaan..."

"Cindy boleh pipis kok, tapi bilang dulu... 'Cindy anak nakaal', ayoooh... bilang gitu yah?" suruhku yang telah terbawa suasana.

"Ehmmmaaahhhhh... eeeghhh, Cindy anak nakaaaal... Cindy pipiiiiisss!"

Cindy orgasme! Mendengarnya kelojotan karena pipis dan menggelinjang hebat akupun muncrat juga, begitupun dengan Jaka dan Angga. Sekarang tidak hanya pejuku saja yang mengotori wajah Cindy, tapi peju 3 orang pria sekaligus! Pemandangan yang sangat seksi dan jarang tentunya dapat menyaksikan gadis belia seumuran Cindy dengan kondisi begini. Wajah gadis imut ini jadi berantakan karena keringat, liur serta peju. Cindy justru kesenangan wajahnya belepotan sperma yang banyak karena menganggap itu vitamin wajah yang banyak.

“Kenapa Cindy? Suka ya mukanya penuh peju?” goda Jaka.

“Suka… kan biar wajah Cindy halus, hihihi” jawab Cindy cekikikan.

Kami betul-betul berbuat bejat pada gadis dibawah umur ini. Setelah beberapa saat kemudian tante Rasti datang. Diapun melihat bagaimana wajah putrinya penuh sperma.

“Ya ampuuuun… kalian habis ngapain aja sama Cindy?” tanya tante Rasti geleng-geleng kepala. Kami hanya cengengesan saja, sedangkan Cindy tertawa dengan sangat imut.

*****
*****

Perasaanku campur aduk setelah melakukan perbuatan ini. Aku memang merasakan kepuasan yang luar biasa karena fantasiku tersalurkan, namun hatiku jadi tidak tenang, aku cemburu mereka juga dapat ikut merasakan nikmatnya tubuh Cindy. Terlebih tidak hanya sekali itu saja mereka berbuat seperti itu pada gadis ini, bahkan saat aku tidak ada mereka juga sering mesumin Cindy.

Aku tidak rela! Sepertinya aku benar-benar jatuh hati pada gadis ini. Aku tidak ingin dia digerepein orang lain lagi. Saat aku mesum-mesuman berdua dengan Cindy ketika les privat selanjutnya, akupun nekat ingin mendapatkan sesuatu yang lebih.

“Cindy.. ngentot yuk”

“Ih, kata mama gak boleh ngentot Bang…”

“Kan mama Cindy gak ada, jadi gak bakal tahu”

“Tapi kan…”

“Cindy sayang kan sama abang?”

“Sayang…”

“Suka kan waktu Cindy abang bikin pipis enak?”

“Suka…”

“Waktu abang pejuin muka Cindy, Cindy juga suka kan?”

“Iya… suka”

“Jadi ayo dong… Mama Cindy gak tahu kok…”

“Ngmmhhh… Iya deh…” jawab Cindy akhirnya membolehkan. Ah… aku sungguh bejat. Aku yakin Cindy pasti belum mengerti apa arti diperawani itu. Aku benar-benar memanfaatkan keluguannya demi kepuasanku.

“Ya sudah… yuk mulai” ajakku.

“Iya… yuk! Sini kontolnya Cindy jilatin dulu”

Cindy semakin hari memang semakin centil saja. Malah kini tanpa ragu lagi memegang dan menciumi penisku, bahkan dia jadi suka ngomong-ngomong sendiri pada penisku. Menganggapnya seperti boneka saja.

"Hihihi... kontol, kamu Cindy emut yah.. mau kan? Atau Cindy mandiin dulu... iya deh, nanti masuk mulut yaaah, hihihi.. Hap" peniskupun masuk ke mulutnya.

Setelah cukup lama memanjakan penisku dengan mulutnya, kini akupun mengangkangi tubuhnya dan mengarahkan kepala penisku hingga menempel pada bibir vagina Cindy. Aku gesek-gesekkan penisku di sana. Sempat terbersit lagi keraguan apakah aku akan memerawaninya. Dia masih kecil! Masih 11 tahun! Tapi aku terus saja melakukan aksiku.

Kepala penisku mulai masuk ke dalam vaginanya. Sedikit demi sedikit. Saat ku lihat Cindy merintih, akupun menarik penisku, kemudian mencoba memasukkannya kembali. Begitu terus hingga vagina Cindy terbiasa dengan kehadiran penisku. Semakin lama penetrasiku semakin dalam menyodok liang vaginanya. Aku dapat merasakan sesuatu menghalangi kepala penisku. Aku kemudian meminta Cindy untuk menahan, dia mengangguk, dan jleb! Penisku masuk ke vagina gadis ini. Aku baru saja memerawani gadis 11 tahun!

“Nghhh…. Abaaaang” rintihnya pelan sambil meremas sprei tempat tidur. Aku tetap saja mendiamkan penisku di dalam liang vagina Cindy sambil terus menyuruhnya menahan perih. Saat dia tenang, aku coba menggenjot dengan lembut. Ah… rasanya sungguh luar biasa.

Cindy semakin lama semakin terbiasa dengan penisku yang mengganjal bagian bawah tubuhnya itu, dia kini malah mendesah kenikmatan. Genjotankupun semakin mantap menyodok vagina kecilnya. Ku rasa aku tak bisa menahan lama-lama kenikmatan ini. Selain karena ini yang pertama bagiku, aku juga melakukannya dengan gadis belia yang tentunya terasa sangat sempit. Mana bisa tahan!?

“Ya ampuuun! Kalian ngapain!??” tiba-tiba tante Rasti muncul. Aku terkejut bukan main, begitupun dengan Cindy. Namun aku tetap tidak ingin melepaskan penisku dari vagina gadis belia ini.

“Udah tante bilang kamu gak boleh sampai entotin Cindy!”

“Ma-maaf tante… aku sshh… gak tahan…”

Tante Rasti geleng-geleng kepala. Wajahnya terlihat memerah, sepertinya dia benar-benar tidak suka hal ini terjadi. Tapi kemudian dia menghela nafas.

“Ya sudah… udah terlanjur” ucapnya terdengar pasrah. Sepertinya tante Rasti berusaha merelakan karena tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tante Rasti memang tidak pernah sekalipun aku melihatnya marah. Dia seakan lebih memasrahkan apa yang telah terjadi daripada menyesalinya.

“Maaf tante…”

“Sudahlah.. udah terlanjur. Kalau ingin menyalahkan, ya tante yang lebih pantas disalahkan karena membiarkan kalian sejauh ini”

“Ngh… mama…” erang Cindy ikut memanggil mamanya.

“Cindy… kamu nakal yah kecil-kecil udah ngentot, gak mau kalah sama mama waktu kecil dulu, hihihi” ucap tante Rasti kemudian yang terlihat sudah seperti biasa. Cindy hanya tertawa kecil mendengarnya. Akupun kembali menggenjot Cindy. Ah… tak pernah ku bayangkan keadaannya akan menjadi seperti ini. Aku menyetubuhi gadis belia di depan ibu kandungnya sendiri! Suasana yang begitu ganjil.

“Nghhh… abaaanngg… Maaahh” erang Cindy meracau kenikmatan.

“Cindy suka yah dientotin? Mau dientotin terus sama bang Beni?” goda tante Rasti pada putrinya. Bisa-bisanya dia berucap seperti itu saat melihat anak gadisya yang masih di bawah umur dientoin orang.

"Mamaaa... Cindy mau dientotin terus maaa... Cindy suka mainan kontol di memek Cindy... Maaaaah..." racau Cindy menanggapi omongan mamanya ditengah pompaanku yang makin kuat dan kencang.

"Iyah sayang, nanti kamu ngentot tiap hari yah, jangan lupa minta bayaran, hihihi..." lanjut tante iseng sambil cekikikan. Sungguh gila. Tante Rasti malah seakan mengajarkan anaknya untuk melonte.

Mendengar perbincangan tak senonoh itu membuatku semakin belingsatan. Aku rasa aku akan benar-benar muncrat sekarang. Kocokanku pada vagina Cindy semakin kencang. Ku pandangi wajah gadis mungil ini. Wajahnya yang cantik terlihat semakin cantik karena memerah dan basah oleh keringat. Tubuhnya yang terhentak-hentak oleh sodokan penisku membuat dia semakin seksi saja. Gak tahan!

“Cindy… abang keluar” lenguhku disertai semprotan pejuku ke liang vagina gadis ini. Aku benamkan penisku dalam-dalam seakan ingin membuat gadis kecil ini hamil. Berbarengan dengan itu tubuh Cindy juga melenting, dia menjerit kenikmatan. Cindy orgasme!

“Nghh… Cindy…”

“Abaaang… Maaahh…”

“Duh, anak Mama yang nakaaal, akhirnya dientot juga deh kamunyaaa, hihihi... bisa-bisa Mama kehilangan pelanggan deh nanti..." ucap tante Rasti lagi-lagi menggoda putrinya.

"Hihihi... engga ah, Cindy kan belum cukup umur Ma, jadi mainnya sama bang Beni aja… nghh” balas Cindy dengan nafas masih terengah-engah.

“Hmm.. tante masih gak menyangka lho ini kalian berbuat beginian. Tapi karena sudah terlanjur ya mau bagaimana lagi. Kalau kamu mau entotin anak tante lagi silahkan, kalau tidak juga gak apa. Tapi ingat hanya boleh melakukannya dengan Cindy aja, Cindy juga gak boleh sama orang lain”

“I-iya tante…” Aku senang sekali mendengarnya.

“Abaaang…” panggil Cindy lirih.

“Apa Cindy?”

“Sekali lagi yuk…”

Ugh…

****

Setelah saat itu akupun jadi ngentotin Cindy terus. Waktu les privat yang seharusnya dijadikan untuk belajar malah jadi waktu untukku bersetubuh dengan gadis belia ini. Tante Rastipun memang akhirnya menjaga putrinya dari sentuhan pria lain selain aku. Aku senang sekali. Tapi hal yang tak terbayangkan bagiku kemudian terjadi. Cindy hamil!

Aku tidak tahu harus bagaimana. Tante Rasti juga bingung. Padahal aku selalu pakai kondom, hanya sesekali saja tidak kalau aku sudah tidak tahan. Mungkin itu. Tante Rasti hanya bisa pasrah karena ini sudah terjadi. Meskipun sedang hamil, tapi aku masih juga menyetubuhi Cindy. Hingga usia kehamilan Cindy memasuki 6 bulan, barulah aku berhenti.

Cindy kini tidak sekolah lagi karena kehamilannya, padahal sebentar lagi dia mau UN. Cindypun terpaksa tidak mengikuti ujian kelulusan SD. Aku jadi merasa bersalah. Aku juga akhirnya mengakui pada orangtuaku kalau aku telah menghamili anak gadis orang. Tentu saja aku kena marah habis-habisan, aku bahkan dihajar ayahku. Namun karena sudah terjadi ya mau bagaimana lagi, mereka juga akhirnya pasrah.

Waktu kami memeriksa kehamilan Cindy, tentu saja dokter itu geleng-geleng kepala karena gadis muda seusia Cindy sudah hamil.

“Bapaknya siapa? Aduh… Berbahaya wanita semuda dia ini sudah hamil. Organ reproduksi gadis di bawah umur 20 tahun itu sebenarnya belum siap untuk mengandung. Takutnya nanti terjadi pendarahan. Apalagi gadis ini masih 12 tahun” terang dokter tersebut.

“I-iya Dok.. maaf”

“Yang penting harus dikontrol terus”

“Baik Dok…”

Beberapa bulan kemudian Cindypun melahirkan dengan cara operasi. Setelah melahirkan, aku memutuskan untuk membawa Cindy denganku. Aku takut kalau Cindy terus tinggal di sana. Aku tidak ingin Cindy ikut-ikutan seperti mamanya menjadi seorang lonte. Aku kini sudah tamat SMA. Aku memutuskan untuk mencari pekerjaan dan tinggal berdua bersama gadis kecilku ini. Orangtuaku dan tante Rasti mengerti. Mereka mengizinkanku untuk tinggal berdua dengan Cindy. Bayi kami dititipkan pada orangtuaku.

 


Aku dan Cindy akhirnya tingga berdua di sebuah rumah kontrakan yang kecil. Untungnya para tetangga menganggap kami kakak adik. Cindy kini melanjutkan sekolahnya lagi. Kehidupan baru kami baru saja dimulai, antara aku dan gadis lollipopku…