Kamis, 08 Oktober 2015

Foto PNS Ngangkang Pamer Memek

Foto PNS ngangkang pamer memek jembut tebal








Menikmati Tubuh Kakak Tingkat Part 1



Bagas sedang mengaduk kuah soto yang masih mengepulkan uap harum di hadapannya. Jeda kuliah selama satu jam menjadi kesempatan untuk mengisi perutnya yang lapar. Semangkuk soto cukuplah untuk memberi tenaga sampai akhir jam kuliah nanti. Tiba-tiba disadarinya ada bayangan yang menaungi meja tempat dia bersiap menikmati soto. Bayangan dari seorang yang berdiri di depannya.

Bagas mengangkat kepalanya sedikit. Dilihatnya celana jeans yang membungkus ketat kaki dan pinggang yang ramping. Celana jeans itu dihiasi sabuk, yang bekepalakan gesper tengkorak. Bagas agak bergidik. Diangkatnya sedikit lagi kepalanya, dilihatnya perut yang rata, dibungkus kaos putih tipis. Sedikit lagi kepala diangkat, dilihatnya sepasang dada yang padat membusung. Cukup lama matanya terpaku di situ, menyadari bahwa dada indah tersebut ditopang oleh bra berwarna hitam, yang nampak menerawang. Bagas mulai membayangkan, apa yang akan tercetak di situ, kalau payudara tersebut hanya dibungkus kaos putih, tanpa penghalang apapun lagi. Tiba-tiba …

Plakkk! Dirasakannya sesuatu memukul kepalanya, diiringi seruan jengkel,
“Ngapain lu liat-liat toket gue!”

Bagas meringis sambil mengusap-usap kepalanya yang baru saja dipukul dengan map loose leaf.
“Eh, kamu Von. Sialan main pukul aja”

“Otak mesum lu!”

“Yee, tadi aku kan kaget mau makan tiba-tiba ada yang berdiri di depan. Ya aku mau liat dong siapa orangnya”, Bagas berusaha membela diri.

“Kalau mau liat siapa orangnya, ya liat mukanya, bukan toketnya dodol!”

“Lah kan ada prosesnya Von. Aku tadi kan nunduk, liat mangkuk. Habis itu liat meja. Lalu liat pinggang. Trus liat perut. Naik dikit liat toket deh hehe”

Plakkk! Sekali lagi map itu mendarat di jidat Bagas.

“Lalu kenapa berhenti di situ, nggak langsung liat muka?!”

“Aduhh…! Kejam banget sih kamu Von!”

“Biarin”

Vonny lalu duduk di bangku sebelah Bagas.
“Bu Narti, saya minta soto ayam, sama es teh”, serunya kepada penjaga kantin.

Bagas tiba-tiba cengengesan sendiri.

“Kenapa?”, tanya Vonny.

“Hehehe, by the way kalau buat kamu ya Von, nggak usah liat muka cukup liat toket aja, orang udah tau kok kalau itu kamu”

“BAGASSS!”

Serangan cubitan Vonny yang bertubi-tubi ke sekujur tubuh Bagas akhirnya dihentikan dengan kedatangan Bu Narti yang mengantarkan pesanan Vonny. Dia berkata lempeng,
“Sotonya, mbak Vonny”

Tingkah para mahasiswa yang ramai, seru dan kadang tidak masuk akal itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari, sehingga biasa saja bagi Bu Narti. Dia tadi juga sedikit mendengar pokok perkara yang membuat Vonny melancarkan serangan cubitan kepada Bagas. Dalam hati dia menyetujui kata-kata Bagas. Payudara Vonny memang montok dan indah, susah mencari tandingan ukurannya di kampus ini.

Mereka pun segera menyantap pesanan masing-masing. Seusai menikmati makan dalam keheningan – Bagas takut salah omong, khawatir menerima serangan lanjutan – dia mengeluarkan sebungkus rokok.

“Bagi rokoknya dong Gas”, kata Vonny.

Bagas mendengus, “Huh, tadi cubit-cubit sembarangan saja. Sekarang minta rokok”. Namun diulurkannya juga bungkus rokok itu kepada Vonny, yang menerimanya sambil terkekeh. Vonny sebenarnya adalah kakak tingkat Bagas, satu tahun di atasnya. Mereka menjadi akrab karena sama-sama mengurus BEM Fakultas. Vonny menjadi ketuanya, sedangkan Bagas menjadi penunggu setia ruang BEM, yang menjadi tempat pengungsian yang nyaman untuk tidur baik di pergantian jam kuliah, atau di jam kuliah kalau Bagas malas mengikutinya. Dia sendiri sudah agak lupa, di BEM dia menjadi pengurus bidang apa. Sifatnya yang suka menolong menjadikan teman-temannya sesama pengurus sering meminta bantuannya untuk mengurus apa pun. Awalnya dia mendaftar menjadi pengurus BEM bukan karena dia ingin aktif berorganisasi, namun karena ingin mengumpulkan poin yang diberikan sebagai penilaian keaktifan. Namun lama-lama dia menikmati juga berkegiatan di kampus itu. Apalagi di jajaran pengurus cukup banyak makhluk bening dan seksi, terutama sang ketua yang saat ini duduk di sebelahnya.

Vonny sendiri senang dengan Bagas. Sebagai seorang pribadi, pembawaannya ramah dan selalu siap bekerja. Sejak Bagas sering nongkrong di ruang BEM, tempat itu selalu rapi. Ya, meskipun Bagas cowok, namun dia senang bersih-bersih dan merapikan segala sesuatu. Banyolan-banyolannya juga sering menyemangati Vonny jika menghadapi tugas yang berat di BEM. Hanya Vonny mendengar bahwa Bagas termasuk playboy, yang suka gota-ganti gandengan. Tapi Vonny berpikir itu urusan pribadi Bagas. Toh sejak kenal Bagas, dia tidak pernah macam-macam terhadapnya. Memang Bagas kadang-kadang mesum, seperti siang ini. Namun Vonny tahu, dia selalu bisa mengandalkan Bagas untuk tugas apapun.

“Gas”

“Hmmm?” Bagas masih menghisap rokoknya sambil memainkan handphone.

“Gue mau omong ke lu”

“Ya?” Matanya tidak lepas dari layar handphone.



“Wah, mau omong serius nih”, pikir Bagas sambil mematikan layar handphonenya. Diliriknya Vonny sedang menatap tajam kepadanya.

“Oke, oke”, kata Bagas sambil meletakkan HP di atas meja, “ada apa bu ketua?”

Vonny berdehem sebentar, “Lu mau nggak, mmm…”.

“Jadi pacar kamu? Mau!”

Satu cubitan segera mendarat di pinggangnya.

“Ampun, ampun. Oke, serius. Ada apa?”

Vonny tidak menjawab, tapi malah membungkuk dan mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Bagas sempat mengintip, segaris tali yang nampak di pinggang bagian belakang gadis itu. “Wah, g-string nih”, pikiran ngeresnya muncul lagi. Tapi dia segera memasang tampang serius lagi saat Vonny menegakkan badannya (dan membusungkan dadanya – mau tidak mau).

Vonny menyodorkan selembar kertas kepada Bagas. Cowok itu membaca surat yang diterimanya, makin lama dahinya makin berkerut. Setelah selesai membaca surat itu, dia menatap Vonny, lalu berkata pendek.

“Nggak”

“Gas, pleaseee…”

“Nggak. Nggak. Nggak”

“Bagas…”

“Von, aku siap disuruh angkat-angkat barang. Aku rela disuruh jaga parkir. Aku mau nyapu sama ngepel Aula. Tapi aku nggak mau jadi panitia-panitiaan kayak gitu. Mana embel-embelnya utusan fakultas lagi. Nggak ah.”

“Please Gas. Kemarin kita pengurus inti udah rapat. Lu yang paling cocok. Pengurus yang lain pas bulan itu semua ada ujian, sedangkan tingkat lu bebas. Lagian dari semua pengurus cuma lu aja yang belum pernah jadi perwakilan ke kegiatan univesitas. Please ya, lu jadi utusan BEM Fakultas untuk Pekan Seni tahun ini. Please…”, gadis Jakarta yang merantau menuntut ilmu di Jogja itu menatap Bagas dengan memasang wajah paling imut. Bagas tidak pernah tahan memandang perpaduan wajah innocent dan tubuh semok tersebut. Dia memalingkan muka sambil menghembuskan asap rokok. Dia lalu berkata pelan,

“Beri aku satu alasan, kenapa aku harus mau jadi panitia”

Vonny tersenyum licik lalu berkata, “Panitia Pekan Seni salah satu tugasnya nanti mengurus penampilan Voluptuous”.

Mendengar kelompok modern dance kampus mereka disebut, segera terlintas di pikiran Bagas serombongan mahasiswi yang cantik dan seksi sedang menari lincah mengenakan pakaian minim. Dia bisa membayangkan keringat para makhluk bening itu berkilat membasahi tubuh mereka yang lincah, membuat tank top yang tipis dengan ketat menempel erat di payudara yang padat. Dada itu berguncang manja mengiringi gerak para gadis ranum itu. Belum lagi pantat-pantat sekal terbungkus hot pants pendek bergoyang mengikuti irama musik, ahhh… Tanpa berpikir lama Bagas pun mengangguk mantap.

“Oke deh, aku mau”

Spontan Vonny tergelak renyah, hingga sepasang bukit di dadanya memantul indah, “Dasar otak mesum hahaha. Anyway, makasih ya Gas”.

“Iya, iya. Ntar kontak aku ya kapan rapatnya. Aku udah mau masuk kelas nih”

“Oke, gue juga mau ke BEM. Ntar gue WhatsApp ke lu”

Mereka bersama berdiri dari bangku kantin itu. Bagas seperti berpikir sebentar lalu berkata,
“Eh, Von”

“Ya?”

Bagas nyengir, “Kamu pakai g-string ya?”

Sebelum Vonny sempat bereaksi apapun, Bagas segera menghambur meninggalkan kantin.

“BAGASSS!”

Dari kejauhan cowok itu terbahak, “Hahaha. Tolong sekalian bayarin soto sama es teh aku ya”, dan dia melanjutkan larinya menuju ke kelas. Vonny hanya bisa mendesah dikerjain adik tingkatnya itu. 


Bagas berjalan sambil bersiul-siul riang. Dia baru saja menerima kabar yang membahagiakan. Kuliah Pak Sinaga hari ini dibatalkan, karena beliau sakit. Sumber yang kurang dapat dipertanggung jawabkan menambahkan bahwa yang bersangkutan sakit diare. Bagas tidak peduli Pak Sinaga sakit apa, yang penting sudah tidak ada kuliah lagi untuk hari ini. Bebasss!

Cowok itu melirik handphonenya. Baru jam satu siang. Dia malas kalau langsung pulang. Om dan tantenya – dia tinggal di rumah mereka sejak mulai kuliah di Jogja – pasti masih ada di kantor. Gina, adik sepupunya, pasti juga belum pulang dari sekolah. Maka dengan mantap dia melangkah ke ruang BEM. Paling tidak dia bisa tidur di sana, atau main game di komputer.

Saat dia berbelok menuju gang ruang BEM, langkahnya terhenti. Dilihatnya makhluk putih bening cantik berdada montok sedang berdiri di depan pintu dan berbicara di handphone. Vonny. Bagas nyengir, niat jahilnya muncul. Dengan berjingkat dia mendekati Vonny dari belakang,

Tapi…

Lho kok…

Terdengar suara isakan pelan.

Vonny… nangis?

Bagas hanya berdiri mematung di belakang punggung Vonny. Gadis itu sudah mengakhiri pembicaraannya. Dia menurunkan handphone dari telinganya. Namun isakannya masih terdengar. Bagas menarik napas panjang.

“Von…”, sapanya pelan.

Vonny tersentak lalu berbalik. Dia terkejut melihat Bagas yang tanpa disadarinya sudah berdiri di belakangnya. Bagas juga kaget. Mata yang biasanya imut lucu itu kini merah dan sembab. Air mata membasahi wajah halus yang innocent.

“Eh, elu Gas. Udah lama di situ?”

“Baru aja. Eh, aku nggak nguping lho ya, aku nggak dengar apa-apa. Errr, Von, kamu gapapa?”

Vonny memaksakan senyum canggung sambil meyeka pipinya,

“Gapapa Gas. Eh, lu mau masuk ruang BEM? Gue pulang duluan ya”.

Tanpa mengatakan apapun lagi dia berlalu dari hadapan Bagas. Mahasiswa itu terpana sesaat, lalu cepat-cepat mengejar Vonny dan berdiri di depannya.

“Aku antar kamu pulang”, kata Bagas tegas.

“Nggak usah, Gas. Makasih. Gue pulang sendiri saja”

“Kamu masih nangis sampai sesak nafas gitu mau pulang sendiri? Kalau pingsan di jalan bagaimana? Ayo aku antar”

Vonny menatap Bagas agak lama, menghela nafas panjang, lalu menganguk pelan. Berdua mereka segera berjalan menuju tempat parkir sepeda motor. Bagas melirik kakak tingkatnya. Gadis itu sudah tidak terisak, tapi wajahnya masih menunduk dan bibirnya tertekuk. Entah masalah apa yang baru didengarnya, sehingga membuat gadis cantik itu menangis. Mereka sudah mendekati tempat parkir, dan Bagas membimbing Vonny menuju ke Vespa birunya.

“Helmnya cuma satu nih, berarti kita lewat jalan tikus aja ya”

Vonny hanya mengangguk pelan lalu naik ke jok belakang, dan… darah Bagas berdesir karena Vonny langsung memeluk pinggangnya erat dan merebahkan kepalanya di bahu Bagas. Darah yang berdesir tadi segera melaju cepat menuju ke satu titik, ke organ tubuh yang terletak di antara dua kakinya, karena… sepasang dada Vonny… terasa empuk dan hangat… menekan punggungnya.

Bagas mencoba menghilangkan bayangan kotor dari pikirannya lalu mulai menjalankan Vespa tua yang masih terawat itu. Dia berusaha berkonsentrasi untuk menatap jalan di depannya, dan mengabaikan bukit kenyal yang mendesak punggungnya. Usaha itu terasa semakin berat, karena dengan melewati gang-gang kecil maka motor itu harus melewati sekian banyak polisi tidur. Setiap kali motor tua itu berguncang di satu polisi tidur, dada Vonny ikut berguncang dan semakin mendesak punggungnya. Serangan ke selangkangannya semakin menjadi-jadi.

“Anak orang lagi sedih tuh Gas, jangan bayangin yang macam-macam. Polisi tidur sialan, bikin si dede bangun aja”, tanpa sadar Bagas mengguman pelan.

“Apa Gas? Tidur? Gue nggak tidur kok”, tiba-tiba Vonny berkata. Bagas hanya terkekeh, tidak berniat untuk menjelaskan tentang pergulatan batin – dan selangkangan – yang sedang dialaminya. Untunglah rumah kos Vonny sudah terlihat di depan, sehingga Bagas tidak perlu menanggung siksaan – yang sebenarnya nikmat itu – lebih lama lagi.

Di depan gerbang Bagas menghentikan motornya. Vonny segera turun dan berdiri di samping Vespa biru itu.

“Makasih ya Gas, udah nganter gue”.

“Iya sama-sama. Mana tega aku ngeliat kamu pulang sendiri. Lagian orang-orang bisa mikir macem-macem, liat cewek semok jalan sambil nangis. Ntar dikiranya abis diperkoaadduuuhhh…!”

Cubitan keras mendarat di pinggang Bagas. Dia heran, cubitan cewek ini sakitnya beberapa kali lipat daripada cubitan cewek lain. Bagas meringis sambil mengelus-elus pinggangnya. Namun dia senang, wajah yang bedak tipisnya berantakan karena air mata itu sudah menyunggingkan senyum.

“Naik yuk Gas, lu nggak ada acara kan?”

“Enggak ada sih. Tapi kamu nggak pingin sendiri dulu, mau nangis atau gimana gitu?”, kata Bagas sambil nyengir.

“Nggak, udah puas nangis di punggung lu”, kata Vonny lalu menjulurkan lidahnya.

“Wah, basah deh kemeja aku. Mmm, mampir nggak ya? Coba aku tanya manajer aku dulu ya?”

“Huh, gaya lu. Ayo, naik!”, Vonny mulai menggeser pintu gerbang.

“Ok deh, sambil jaga-jaga. Siapa tahu kamu di kamar depresi trus bunuh diri”, canda Bagas sambil menuntun motornya masuk ke halaman. Vonny mendelik tajam.

Sesampainya di kamar Vonny, Bagas segera membaringkan diri di karpet yang terhampar di lantai. Tangannya meraih satu boneka Winnie the Pooh berukuran super besar dan dijadikannya bantal.

“Bagasss! Itu si Winnie jangan dijadiin bantal”, jerit Vonny. Cepat-cepat dia berjalan ke arah Bagas, dan tanpa aba-aba menarik boneka tersebut. Bagas tidak siap, dan kepalanya yang kehilangan penyangga menghantam karpet. Untung karpet tersebut cukup tebal sehingga benturannya tidak terlalu keras. Namun tidak urung Bagas harus mengelus-elus bagian belakang kepalanya yang terbentur itu. Sementara Vonny? Dia sedang mengelus-elus perut boneka beruang kuning berkaos merah tanpa celana itu.

“Aduh kacian. Peyut kamu sakit ya dijadiin bantal sama Bagas?”

“Heh, temen kamu nih kepalanya sakit, malah boneka yang diurusin” gerutu Bagas sambil meraih bantal dari atas kasur. Vonny hanya mencibir saja. Setelah meletakkan si Winnie sejauh mungkin dari jangkauan Bagas, mahasiswi itu melangkah ke kamar mandi.

“Kalau mau minum ambil di kulkas, Gas”, dan pintu pun tertutup.

Malas-malasan Bagas bangkit menuju ke kulkas mini di pojokan. Setelah memilih minuman, dia kembali lagi ke bantalnya. Namun disempatkannya untuk menendang pelan kepala si Winnie yang tersenyum polos.

Tidak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka. Wajah Vonny terlihat sedikit lebih segar setelah dibasuh. Sebagian air masih membasahi rambutnya. Sebagian lagi masih membasahi lehernya. Air yang di leher ada yang mengalir ke arah dadanya. Ohhh…, beberapa bagian dari kaos putih itu basah terkena air. Maka melekatlah kaos itu erat di dada mulus. Melekat, menampakkan kulit putihnya. Menampakkan pula BH hitam dengan hiasan renda yang seksi.

“Woiii… mesuummm! Ngeliatin apa luuu??!”, lengkingan Vonny membuyarkan lamunan jorok Bagas. Bagas tergagap, dan dengan muka merah dan salah tingkah hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Sambil sedikit menggerutu – tapi tanpa sedikitpun menutupi asetnya yang sangat provokatif itu – Vonny menuju ke kasur dan membaringkan tubuh montoknya di situ. Bagas juga hanya berbaring di karpet menatap langit-langit. Dia tidak tahu harus berkata apa. Suara Chris Martin mengalun pelan dari CD Player di samping tempat tidur.

Setelah dua lagu, Vonny mulai bersuara, “Gas, gue baru aja diputusin”

“Ooo…”

Bagas menunggu kelanjutan cerita Vonny, tapi tidak ada sambungan apapun lagi. Lalu nampak badan Vonny mulai berguncang pelan…

“Wah, nangis lagi nih anak”, Bagas membatin. Dia lalu menegakkan tubuhnya, dan dilihatnya air mata kembali mengalir di wajah cantik itu. Tak lama kemudian Vonny mulai terisak.

“Sshhh, udah Von, udah. Sshhh… gapapa”, tangan Bagas terulur membelai rambut halus kakak tingkatnya. Tetapi isakan Vonny makin menjadi. Bagas segera bangkit dan duduk di atas kasur, kepala Vonny diletakkan di atas kakinya. Tangan kanan Bagas meremas tangan Vonny, sedangkan tangan satunya tetap membelai-belai rambutnya.

“Ya udah, nangis aja, keluarin semua. Sshhh, iya, aku di sini”.

Sekitar sepuluh menit Bagas membiarkan Vonny menumpahkan tangisnya. Sesekali disekanya air mata dari pipi halus itu. Dia tidak kenal siapa cowok Vonny, yang jelas pria itu rugi sekali telah memutuskan pacar seperti Vonny. Gadis yang begitu baik hati dan ramah. Dengan para adik tingkat Vonny juga tidak pernah bersikap sombong. Setahu Bagas, meskipun sangat sibuk di BEM namun nilai kuliah Vonny selalu baik. Tugas-tugas di BEM pun selalu dapat diselesaikan dengan perfekt. Gadis itu juga cantik sekali, ditambah lagi tubuhnya indah. Tubuh yang sekarang berbaring dengan kepala berbantalkan kaki Bagas. Dari posisi duduknya, Bagas dapat mengintip sebagian kaki bukit di dada Vonny, yang nampak lembut, dilengkapi dengan renda hitam yang menambah aura keseksiannya. Pelan-pelan darah Bagas kembali bergejolak menuju ke satu titik di bagian bawah tubuhnya.

Bagas cepat-cepat menyingkirkan bayangan erotis dari pikirannya. Selain dia tidak tega dengan Vonny yang sedang bersedih, posisi kepala Vonny terletak dekat sekali dengan selangkangannya. Kalau sampai Vonny mendapati junior Bagas berdiri tegak di dekat kepalanya, wah nggak kebayang deh akibatnya.

Pelan-pelan tangisan Vonny mereda. Masih sedikit terisak, dia memaksakan diri untuk tertawa pelan.

“Gue cengeng ya Gas?”

“Gapapa Von. Namanya juga baru diputusin”, kata Bagas sambil terus membelai-belai rambut Vonny. Vonny memejamkan mata, merasakan nyamannya berbaring sambil dibelai-belai seperti itu. Tak lama kemudian mengalirlah cerita Vonny tentang cowoknya. Teman SMA-nya di Jakarta yang dipacarinya sejak empat tahun yang lalu. Tiga tahun lalu mereka harus menjalin hubungan jarak jauh karena Vonny kuliah di Jogja. Sebenarnya selama tiga tahun hubungan itu bisa dijalani dengan baik. Komunikasi mereka tetap berjalan lancar. Setiap liburan mid semester dan semester Vonny pasti pulang ke Jakarta, dan sebagian besar waktu liburannya pasti dilewatkannya dengan pacarnya. Beberapa kali cowoknya juga datang ke Jogja. Namun siang tadi cowoknya menelponnya, dan mengatakan bahwa mereka harus putus. Dan yang membuat Vonny sangat terguncang adalah alasan di balik keputusan itu. Pacarnya harus bertanggung jawab karena telah menghamili teman kuliahnya.

“Gue nggak muna, Gas” kata Vonny, “Selama pacaran gue juga sering ML dengan dia. Yang ngambil virgin gue juga dia. Selama di Jakarta, waktu masih SMA, kita udah biasa ML. Kalo gue liburan ke Jakarta pasti juga ML. Tapi gue cuma ML sama dia, gue nggak pernah selingkuh, gue nggak pernah tergoda ML sama cowok lain. Kebayang nggak sih, udah biasa ML sama orang yang kita sayang, tapi ketemu cuma bisa tiga bulan sekali. Di Jogja sini gue cuma bisa muasin diri sendiri. Sedang dia? Ternyata dia ML sama cewek lain. Sampai hamil. Sampai harus mutusin gue. Brengsek!”, cerita itu mengalir lancar dan ringan dari bibir Vonny.

Gadis itu seolah mengisahkannya tanpa beban. Sedangkan bagi Bagas? Beban menggayut berat, bukan di pundaknya melainkan di selangkangannya. Perpaduan atara cerita Vonny tentang kehidupan seksnya, ditambah dengan kaos putih yang sedikit tersingkap di bagian pusar dan belahan payudara karena gerak-gerik Vonny selama bercerita, ditambah posisi kepala Vonny yang semakin mendekati pangkal pahanya, membuat Bagas junior mulai bangkit dari tidurnya. Cepat-cepat Bagas berusaha menyelamatkan situasi.

“Eh, Von. Sori, bangun sebentar. Kaki aku kesemutan nih”.

Tanpa banyak tanya Vonny bangkit dan duduk di samping Bagas bersandar tembok. Bagas berusaha menyamarkan tonjolan di bawah perutnya dengan menekuk kakinya. Vonny menatap lurus ke depan, lalu tertawa pelan.

“Hehehe, makasih ya Gas, udah dengerin curhatan gue”,

Dan tiba-tiba,

Muachh…

Vonny mencium pipi kanan Bagas. Pemuda itu nyengir senang. Lalu dengan iseng dia berkata,

“Yang kiri juga dong, ntar ngiri”

“Elu tuh yeee…”, omel Vonny tapi sambil tersenyum. Dia merentangkan tubuhnya juga untuk mencium pipi kiri Bagas. Saat itu dia mengangkat tangannya untuk menyangga tubuhnya, dan tanpa sengaja tangannya bertopang di selangkangan Bagas. Teraba olehnya penis Bagas yang telah menegang. Vonny sedikit berjenggit kaget, dan menatap Bagas.

“Eh, Gas?!”

Entah digerakkan kekuatan apa, Bagas nekat mendekatkan wajahnya ke wajah Vonny yang sedang memandanginya. Pelan pelan dilekatkannya bibirnya ke bibir Vonny. Dikecupnya lembut dan dilumatnya pelan. Vonny menerima bibir Bagas dengan mesra, namun kemudian Bagas seolah tersadar dan menarik kepalanya menjauh.

“Sorry Von, aku kelepasan”

“Gapapa Gas,” jawab Vonny. Suaranya agak parau, “terusin aja”.

Sambil berkata demikian Vonny mengangkat tubuhnya dan duduk di pangkuan Bagas. Payudaranya yang montok menekan erat dada Bagas. Tangan Vonny merangkul leher Bagas, dan kali ini dia yang berinisiatif melumat bibir Bagas. Tangan Bagas mulai menyusuri pinggang Vonny, lalu menyusup di balik kaos tipisnya. Dielus-elusnya kulit punggung yang begitu halus itu. Keduanya mendesah seiring cumbuan yang semakin liar. Lidah mereka saling membelit. Tubuh Vonny bergerak-gerak gelisah. Buah dadanya semakin didesakkannya ke badan Bagas. Selangkangannya digesek-gesekkan ke penis Bagas yang telah tegang di balik celana jeansnya. Jemari Bagas mulai nakal menyusup ke pantat Vonny.

“Ahhh…” Vonny mendesah. Wajah keduanya sejenak terpisah. Seuntai benang dari air liur mereka tampak tersambung di bibir mereka.

“Von”

“Hmmm?”

“Kalau mau stop nggak apa-apa. Aku nggak mau manfaatin kamu yang lagi sedih”

“Sshhh, Gas…”, sebagai balasannya Vonny kembali melumat bibir Bagas dengan ganas. Kali ini tangannya memegang tangan Bagas dan diarahkan ke dadanya. Telapak tangan Bagas mengelus payudara kenyal tersebut dari balik kain pemisahnya. Usapan-usapan lembut lama-lama menjadi remasan penuh nafsu. Vonny pun semakin kencang mendesah,

 


“Ahhh, terus Gas. Hmmhhh…”

Tangan Bagas mulai menyusup ke balik kaos Vonny. Disusurinya punggung yang halus itu dari pinggang, semakin naik sampai di kaitan BH-nya. Tanpa perlu melihat dibukanya kaitan BH hitam itu. Seketika penopang payudara sekal itu menjadi longgar. Di balik kaos, tangan Bagas mulai bergerak ke depan. Diusapnya dengan lembut bagian samping buah dada Vonny. Kulitnya sangat halus dan lembut. Jemarinya bergerak semakinke tengah, hingga disentuhnya puting yang telah menegang.

“Bagasss… Ohhh…”

Vonny mengerang ketika jemari Bagas mulai memainkan puting payudaranya. Ciumannya semakin menjadi. Sementara jemari Bagas semakin liar memainkan sepasang bukit indah itu. Akhirnya Vonny tidak tahan lagi. Ditegakkannya badannya sehingga ada ruang di antara tubuh mereka. Tangannya meraih bagian bawah kaosnya, dan pelan-pelan diangkatnya. Kaos itu melewati perutnya, lalu pangkal dadanya. BH hitam yang telah terlepas kaitnya itu ikut terangkat. Dalam sekejap, payudara montok itu terbebas dari segala penutupnya, memantul pelan ketika kaos dan BH melewatinya. Vonny melemparkan penutup tubuh atasnya ke karpet, sedangkan Bagas hanya menatap tanpa berkedip sepasang dada yang selama ini hanya dapat dikhayalkannya. Betapa bulat dan montok, betapa kenyal dan kencang, betapa putih dan halus, dengan puting coklat muda di pucuknya.

“Ih, Bagas apaan sih?”, bisik Vonny dengan muka memerah.

“Indah banget Von”, Bagas balas berbisik. Disentuhkannya jarinya ke permukaan payudara itu. Disusurinya urat kehijauan yang tersamar di balik kulit putih, dicubitnya perlahan sepasang puting yang semakin menegang.

“Ahhh… Bagas…”, direngkuhnya kepala Bagas, dan ditariknya ke arah dada kirinya.



Bagas menjulurkan lidahnya dan mulai menjilat payudara Vonny. Disapukannya lidahnya berputar-putar menuju ke puting yang semakin mengeras. Sementara tangan kirinya meremasi payudara kanan Vonny. Mata gadis itu sendiri terpejam, menikmati rangsangan yang diberikan oleh Bagas di dadanya. Tangannya merangkul leher Bagas sambil mengacak-acak rambutnya.

“Ohhh… Gas… Yessshhh…, terus Gasss…”

Bagas mencium dan menjilat sepasang mahkota keindahan wanita itu berganti-gantian, kiri dan kanan. Tangan Vonny merambati punggung Bagas ke bawah, ke arah pinggang. Setelah tangannya memengang ujung t-shirt Bagas, ditariknya pakaian itu ke atas. Bagas menarik kepalanya dari dada Vonny agar kaosnya bisa lepas. Setelah itu dibenamkannya lagi wajahnya di belahan dada montok itu. Sambil terus menyapukan lidahnya ke dada Vonny, Bagas mendorong kakak tingkatnya itu untuk berbaring.

Lidah Bagas lalu bergerak ke atas, ke leher jenjang yang putih, ke dagu yang runcing, dan akhirnya wajah mereka pun sejajar. Bagas menatap Vonny yang terbaring di bawahnya. Mata mereka bertemu. Ujung hidung mereka bersentuhan.

“Von, kamu cantik banget”

Vonny tersenyum manis, lalu berbisik “Gombal”

Kedua tangannya lalu merengkuh kepala Bagas, dan mengarahkan bibirnya untuk mencumbu mahasiswa itu. Bibir kedua insan itu kini menyatu, dan lidah mereka bertautan. Dengan penuh gairah mereka berciuman. Tangan Vonny tetap memeluk erat leher Bagas, sementara tangan Bagas meremas-remas buah dada Vonny.

Setelah beberapa menit saling melumat bibir, Bagas membebaskan kepalanya dari pelukan Vonny. Kembali lidah Bagas bergerilya. Dia menyapu lagi pipi dan dagu Vonny, turun kembali ke bukit kembar di dadanya. Beberapa menit dilewatkannya untuk kembali mengeksplorasi keindahan yang tak terkatakan itu. Vonny terus mendesah sambil bergerak gelisah. Dia mengulum jari tangan kanannya sendiri sementara tangan kirinya membelai-belai rambut Bagas. Titik-titik keringat mulai bergulir di kulit mereka berdua.

Puas memainkan lidahnya di dada Vonny, lidah Bagas mencari sasaran baru. Kepalanya bergerak semakin turun. Disusurinya perut yang ramping itu sampai di pusarnya. Dijilatnya pusar Vonny pelan.

“Gas… geliii…”

Vonny merintih. Bagas tidak peduli. Malah sekarang kedua tangannya terjulur ke atas dan meremas payudara Vonny. Gadis itu ikut menangkupkan kedua tangannya pada tangan Bagas, dan mengajak Bagas untuk meremas dadanya lebih kuat lagi. Lidah Bagas kini meninggalkan pusar Vonny dan bergerak semakin ke bawah, sampai menemukan tanktop yang membungkus pinggul Vonny ketat. Pengalamannya berjumpa dengan belasan tanktop sebelumnya membuat Bagas bisa membuka celana itu hanya dengan giginya. Digigitnya ujung tanktop Vonny dan ditariknya ke bawah. Vonny mengangkat pinggulnya, sehingga dengan mudah celana itu lolos melewati tungkainya.

Sekarang badan Vonny hanya tertutup oleh kain segitiga kecil yang terikat dengan tali tipis.

“Bener kan, kamu pakai g-string”, bisik Bagas sambil nyengir.

“Ahh… apaan sih Gas”, rajuk Vonny. Secara naluriah kakinya merapat, untuk melindungi rahasianya yang paling berharga itu. Namun dengan lembut kedua tangan bagas menahan kaki Vonny. Didekatkannya kini kepalanya ke kain segitiga yang telah menampakkan bercak basah di tengah-tengahnya. Lalu ditekannya titik basah itu dengan hidungnya.

“Mmmhhh… Gass…”, desah Vonny saat hidung Bagas menyentuh titik sensitifnya.

Bagas semakin mendesakkan hidungnya ke kain lembut yang menutupi vagina Vonny. Dihirupnya dalam-dalam aroma birahi dari cairan kental yang menembus dari balik g-string hitam. Kembali mengandalkan giginya, Bagas menarik segitiga pengaman tersebut turun. Tingkah Vonny semakin tidak karuan. Satu tangannya meremas-remas payudaranya sendiri secara bergantian. Jemari di tangan yang satunya lagi dikulumnya, sementara bibirnya tidak henti-hentinya mengeluarkan desahan dan erangan.

Kewanitaan Vonny kini terpampang jelas di hadapan mata Bagas, seiring terlepasnya pelindung terakhir raga yang indah itu. Sejenak Bagas mengagumi rahasia indah milik ketua BEM Fakultasnya. Begitu gemuk dan rapat, terawat dengan baik. Rambut halus di sekitarnya dicukur bersih, menyisakan segaris tipis tepat di atas liang yang sudah basah berkilat dengan pelumas alaminya. Dari balik liang sempit itu mengintip malu-malu bongkahan kecil berwarna kemerahan, yang berkedut-kedut seiring dengan engahan nafas pemiliknya.

Vonny melirik ke bawah, ke arah Bagas yang sedang mengagumi vaginanya.

“Bagas… jangan diliatin terus… gue malu…”, desahnya dengan wajah memerah. Satu tangannya mulai turun untuk menutupi organ yang selama ini selalu dia jaga dengan baik. Sejak tiga bulan lalu tidak ada mata yang mengungkap rahasia itu selain matanya sendiri. Di suatu siang tiga bulan lalu, di kamar rumahnya di Jakarta, untuk terakhir kalinya (mantan) cowoknya juga menatap kagum vagina yang rapat itu, yang dilanjutkan dengan persetubuhan panas selama dua jam, sebelum sore harinya Vonny naik kereta kembali ke Jogja. Saat itu dia tidak menyangka bahwa (mantan) cowoknya juga sering bermain-main dengan vagina lain selain miliknya.

Kenangan Vonny akan (mantan) cowoknya terputus, ketika dia merasakan udara hangat menyapu liang senggamanya. Dia kembali memandang ke bawah, dan melihat Bagas sedang meniup lembut vaginanya.

“Bagasshhh… Hmmhhh… Lu ngapainhh… Geliii…”

“Kalau gini, geli nggak?” bisik Bagas sambil menjulurkan lidahnya dan menjilat lembah kenikmatan itu dari bawah ke atas. Lalu dimainkannya sejenak lidahnya di klitoris Vonny.

“Arrrggghhh… lu nakal banget Gas… Hmmppfff… Geliii… enakk…”

“Geli apa enak?”

“Enaakkaarrggghhh…” Vonny mengerang saat lidah Bagas kembali menyusuri vaginanya. Lidah itu tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam liang yang telah dibanjiri lendir cinta. Sejenak lidah bagas berputar-putar di situ, lalu dengan sekuat tenaga bibir Bagas menyedot cairan birahi Vonny.

“Bagasss… aaahhh…”

Badan Vonny menggelinjang merasakan titik-titik sensitifnya dirangsang oleh Bagas. Jemari tangannya telah basah dengan air liurnya sendiri. Payudaranya semakin kuat diremasinya. Titik-titik peluh sekarang bermunculan secara merata di sekujur tubuhnya. Bagas tidak mengambil jeda sedikitpun. Setelah dinikmatinya cairan cinta Vonny, lidahnya dengan giat memainkan klitoris gadis itu. Pinggul Vonny terangkat-angkat menikmati permainan lidah Bagas yang gencar. Dua jari Bagas kini memainkan liang vagian Vonny, sementara lidahnya tepat bermain di klitorisnya. Tangan yang lain mengelus-elus paha Vonny yang mulus. Tangan tersebut merambat ke atas, sampai menemukan sebuah liang lain. Pelan-pelan Bagas mendesakkan jari kelingkingnya di lubang anus Vonny, dan dengan lembut mulai mendorongnya keluar masuk. Hanya sedikit lebih dalam dari permukaan, tidak sampai melesak, namun sudah bisa membuat Vonny semakin menggelinjang.

Lebih dari sepuluh menit titik-titik sensitifnya diserang oleh lidah dan tangan Bagas, Vonny tidak tahan lagi.

“Bagaasss… guehhnyampeeeaaarrrggghhh…”, dengan mengerang keras Vonny menikmati orgasme pertamanya. Lendir kental kembali mengalir keluar dari vaginanya. Bagas dengan telaten menjilati dan lalu menelan lendir itu. Vonny sendiri terkapar dengan nafas terengah-engah. Matanya terpejam, bulir-bulir keringat semakin membanjir. Beberapa helai rambutnya melekat basah di dahinya. Dada montoknya turun naik seiring tarikan nafasnya.

Bagas merangkak dan membaringkan tubuhnya sejajar dengan Vonny. Dikecupnya sekilas pipi Vonny, lalu jemarinya membelai-belai wajah cantik itu. Disingkirkannya beberapa helai rambut dari dahi yang basah mengkilat. Dibiarkannya Vonny menikmati gelombang kenikmatan yang baru saja menyergapnya.

Pelan-pelan Vonny membuka matanya, lalu menoleh ke arah Bagas sambil tersenyum manis. Beberapa saat lamanya mereka saling pandang. Tangan Vonny terulur dan membelai dagu Bagas.

“Lu hebat banget sih Gas”

Bagas ganti megulurkan tangannya dan mengusap pipi Vonny,

“Habis kamu seksi banget Von”

Tangan Vonny di dagu Bagas menarik wajah itu mendekat, merapatkannya ke wajahnya sendiri, lalu melumatkan bibirnya ke bibir Bagas. Vonny mendesakkan lidahnya masuk ke mulut Bagas, menikmati sisa-sisa cairan cintanya yang tertinggal di situ. Setelah puas, dipisahkannya bibirnya beberapa sentimeter dari bibir Bagas.

“Bagas curang”

“Kenapa?”

“Gue udah bugil gini, lu masih pake celana”

“Lepasin dong”

“Manja…”

Vonny bangkit dari tempatnya berbaring. Payudaranya mengayun indah saat dia bergerak. Bagas tidak dapat menahan tangannya untuk meremas dada itu dengan lembut.

“Ih, genit colek-colek”, kata Vonny. Dia sekarang duduk bersila di samping Bagas yang masih berbaring. Dengan terkikik pelan dia membelai-belai tonjolan yang masih terbungkus celana jeans biru.

“Kasian nih, mau bangun malah terkurung gitu. Udah berapa lama bangunnya ya?”, guman Vonny seperti berbicara sendiri sambil terus memainkan jarinya di situ. Bagas tersenyum nakal lalu menyahut pelan,

“Sejak toket kamu nempel di punggung aku waktu boncengan tadi”

“Hahhh? Dasar Bagas mesummm”, dan tanpa aba-aba diremasnya gundukan tersebut. Bagas spontan berteriak dan bangkit terduduk.

“Woi, ngawur kamu Von. Udah aku sayang-sayang tiap hari, eh main remes aja”.

“Abisnya nakal sih hihihi”, Vonny terkikik.

“Kamu tuh yang nakal”, sahut Bagas. Dengan sigap direngkuhnya leher Vonny lalu dilumatnya bibir merah merekah itu. Vonny sempat gelagapan menerima serangan yang tiba-tiba itu, tetapi dengan cepat dia bisa mengimbangi bagas. Mereka duduk sambil berciuman, tangan Vonnya membelai-belai selangkangan Bagas, sedangkan jemari Bagas memainkan puting payudara Vonny.

Ketika memisahkan bibir untuk mengambil nafas, Vonny berkata,

“Bagas sih mau nyosor terus. Ga jadi-jadi kan buka celananya”

“Ya udah, kamu bukain sekarang”, jawab Bagas sambil mengarahkan tangan Vonny ke gesper sabuknya. Dengan telaten Vonny membuka sabuk kulit itu, dan melemparkannya ke samping kasur. Tangannya sekarang membuka kancing celana Bagas dan menarik turun resletingnya. Bagas mengangkat pinggulnya saat celana jeans tersebut ditarik oleh Vonny. Penis Bagas yang mengacung sekarang hanya ditutupi oleh selembar boxer tipis.

“Dede nakal, udah berani nantang kaka ya?”, kata Vonny sambil menyentil batang yang mulai merembeskan cairan tipis di ujungnya itu. Bagas mulai merem melek menikmati sentuhan-sentuhan ringan Vonny di penisnya.

“Kok nggak langsung dicopot Von”, desah Bagas.

Vonny tidak menyahuti pertanyaan sekaligus permintaan Bagas itu. Sembari tangannya masih memainkan batang kejantanan Bagas dari balik boxer, Vonny merapatkan badannya lagi ke badan Bagas, dan kembali menyatukan kedua bibir mereka. Sambil terus berciuman, pelan-pelan jemari lentiknya meloloskan kain penutup junior Bagas. Kedua insan tersebut sekarang sama-sama telanjang.

Jemari Vonny mulai menggenggam penis Bagas yang sudah dalam posisi siap tempur. Jemari tangan yang lain memainkan sepasang bola yang bergantung di bawah batang yang tegang. Bagas mengerang di sela-sela percumbuannya. Lalu bibir Vonny pelan-pelan mulai terlepas.

Vonny menegakkan badannya sambil tetap menggenggam kejantanan Bagas. Otot yang tegang tersebut terasa hangat dalam genggamannya, dan terasa berdenyut-denyut seiring aliran darah Bagas yang mengarah ke situ. Dia mengamati kepala yang kemerahan dengan segaris lubang di ujungnya. Ada cairan bening yang mulai meleleh dari lubang itu.

Sambil terus mengamati Bagas junior, dia mulai memainkan tangannya turun dan naik. Bagas mengerang. Vonny pernah membaca di sebuah artikel kesehatan, ukuran rata-rata penis yang memuaskan secara seksual adalah lima inci, karena itu juga kedalaman rata-rata liang vagina wanita. Batang yang sekarang digenggamnya jelas melampaui kriteria tersebut.

Vonny mulai membungkukkan badannya dan menempelkan serta menggesek-gesekkan hidung mancungnya di kepala penis Bagas. Dia menjulurkan lidahnya lalu menjilat cairan pre cum di kepala kemerahan itu. Selanjutnya dia menusuk-nusukkan lidahnya di lubang tempat cairan tersebut meleleh. Sekarang dia menjulurkan lidahnya seluruhnya. Dengan tekun dijilatinya kepala penis Bagas sampai basah mengkilat semuanya. Vonny melanjutkan kegiatannya ke batang kemaluan Bagas. Lidahnya kini menyusuri urat-urat yang menonjol di sepanjang batang tersebut. Tidak satu titikpun yang terlewat dari sapuan lidahnya

Bagas hanya bisa menggelinjang menikmati sapuan lidah basah dan hangat di batang juniornya. Tangannya terjulur ke bawah, membelai-belai rambut Vonny yang halus. Lidah Vonny kini sudah di pangkal penis Bagas. Dia meneruskannya terus ke bawah, ke buah zakarnya. Dijilatinya kantung zakar itu, dan dihisapnya dengan lembut sepasang bola tempat Bagas memproduksi benih-benih kehidupannya. Bagas merasakan ngilu namun sekaligus nikmat saat bibir dan lidah kakak tingkatnya menari-nari di titik-titik rangsangan tubuhnya.

Tubuh sepasang insan tersebut telah bermandi keringat. Penis Bagas tampak lebih mengkilat karena air liur Vonny. Pelan-pelan lidah Vonny kembali menyusuri batang tersebut ke arah kepala kemerahan. Dikecup-kecupnya kepala junior Bagas. Vonny lalu merekahkan bibirnya, dan seperti dalam slow motion pelan-pelan dimasukkannya kejantanan Bagas ke dalam mulutnya.

Bagas mendesah keras sampai menutup mata. Kemaluannya kini terasa hangat dan lembab, terbungkus oleh mulut Vonny. Gadis itu sendiri terdiam sejenak, berusaha mengatur nafasnya agar tidak tersedak, sekaligus membiasakan mulutnya menerima benda asing itu. Dirasakannya penis Bagas mendesak sampai ke kerongkongannya.

Sejurus kemudian lidahnya mulai beraksi kembali. Di dalam rongga mulutnya, lidah tersebut menari-nari membelai penis Bagas. Kemudian kepalanya mulai naik turun, mengocok batang kejantanan tersebut dengan bibirnya yang merekah. Sesekali disedotnya kuat-kuat junior Bagas, sampai pemuda itu mengerang tidak karuan. Perpaduan antara kocokan bibir, sedotan dan permainan lidah di kemaluannya membuat Bagas seolah melayang di awang-awang. Hampir sepuluh menit diperlakukan demikian juniornya makin berkedut-kedut, aliran darahnya semakin lancar menuju ke selangkangannya, dan Bagas merasakan geli serta nikmat yang semakin memuncak. Dia khawatir pertahanannya jebol sebelum menikmati hidangan utama.

Pelan-pelan diarahkannya kedua tangannya untuk menangkup pipi Vonny. Ditahannya gerakan naik turun Vonny sampai berhenti. Dengan mulut yang masik disesaki dengan penis, Vonny melirik ke atas. Matanya membulat seakan bertanya kenapa Bagas menghentikan kegiatan yang juga membawa kenikmatan pada gadis itu. Bagas ganti menatap wajah Vonny, yang sialnya membuat pertahanannya kembali nyaris jebol. Wajah cantik dengan mata membulat nampak begitu imut, namun juga begitu seksi dan nakal dengan penis yang menyumpal bibirnya.

“Udah dulu Von, ntar aku nggak kuat”

Sambil tersenyum dia melepaskan penis Bagas, namun tetap memberikan kecupan-kecupan ringan di kepala yang kemerahan. Bagas menggeser duduknya lalu meraih celananya yang teronggok di samping kasur. Diraba-rabanya saku celana itu sampai dia menemukan dompetnya.

“Cari apa?”, tanya Vonny pelan.

“Kondom”, sahut Bagas singkat.

Seketika Vonny tergelak, “Dasar lu penjahat kelamin ya Gas, selalu ada persediaan kondom di dompet”.

Bagas hanya nyengir sambil merobek pembungkus kondom.

“Sini aku pasangin”, kata Vonny sambil menyahut kondom berwarna merah dari tangan Bagas. Dijepitnya ujung kondom itu dengan bibirnya, dan dia mulai membungkuk. Pelan-pelan dengan menggunakan mulutnya Vonny memasangkan kondom itu di penis Bagas yang masih mengacung tegak. Setelah terpasang dengan sempurnya, dijilatinya lagi penis Bagas, lalu kembali dimasukkannya ke dalam mulutnya.

“Ssshhh… Von… langsung aja yahh…”, desah Bagas.

Dengan mesra Bagas membaringkan tubuh Vonny. Dia kembali merapatkan bibirnya ke bibir Vonny. Sekarang gadis itu sudah tergolek pasrah, dengan tubuh Bagas menindihnya. Payudara montok Vonny mendesak dada Bagas. Sambil terus berciuman, tangan Bagas membelai-belai rambut panjang Vonny. Tangan Vonny sebaliknya mengarah ke bawah. Seiring dengan gerakan membuka sepasang pahanya, dia meraih dan menggenggam penis Bagas. Hanya dibimbing dengan naluri dasariah makhluk hidup yang sedang dilanda asmara, diarahkannya batang yang keras itu ke liang rahasianya yang semakin basah oleh lendir birahinya.

Nafas keduanya sama-sama tertahan ketika ujung penis Bagas sudah menempel di pintu vagina Vonny. Mata mereka saling bertatapan, dan masing-masing dapat melihat pantulan sinar birahi dan kerinduan akan kenikmatan terpancar dari jendela hati itu. Bagas sedikit mengangkat pinggulnya, dan dengan dibimbing oleh tangan Vonny yang tetap menggenggam juniornya, dilesakkannya batang kejantanannya ke liang senggama mahasiswi cantik itu. Keduanya mendesah dan mengerang bersamaan. Segala batas telah melebur. Mereka bukan lagi dua orang dengan asal usul yang berbeda, bukan lagi kakak dan adik tingkat, bukan lagi ketua dan anggota, namun sepasang manusia yang sudah menyatukan tubuhnya.

Sejenak Bagas mendiamkan penisnya terbungkus kehangatan vagina Vonny. Dia kembali menatap wajah Vonny yang tersenyum manis. Setelah Vonny merasakan bahwa otot-otot vaginanya terbiasa dengan kehadiran penis Bagas, dia mengangguk kecil. Maka pelan-pelan Bagas menggerakkan pinggulnya naik turun. Gerakan yang pelan dan teratur tersebut lama-lama menjadi semakin cepat. Kasur tempat mereka memadu cinta berderit-derit seiring dengan guncangan dua tubuh telanjang. Badan Vonny yang ditindih Bagas mulai bergerak tidak karuan.

Kaki Vonny menendang-nendang gelisah. Sepasang tungkai itu lalu dikaitkannya di pinggang Bagas. Dengan akses yang semakin terbuka itu, dirasakannya penis Bagas semakin dalam menusuk rahimnya. Tangan Bagas sendiri tidak henti-hentinya meremasi payudara Vonny yang memantul-mantul indah. Sekarang Bagas lalu menciumi sepasang buah dada, yang bergerak tidak karuan seperti puding di atas piring yang digoyang-goyangkan. Dijilatinya seluruh permukaan payudara Vonny. Disedotnya sambil dihisap-hisapnya puting yang sewarna dengan cappuccino itu. Bibir Vonny menceracau tidak jelas, mengekspresikan kenikmatan yang tidak terkatakan.

Tangan Bagas meraih tangan Vonny dan mengarahkannya ke atas. Sekarang kepala Vonny berbantalkan kedua telapak tangannya. Lengannya terbuka lebar. Lidah Bagas mulai beralih dari dada Vonny ke ketiaknya yang halus, bersih dan wangi. Dijilati dan diciuminya pangkal lengan Vonny itu, sampai Vonny berseru-seru karena kegelian, namun anehnya justru menambah kenikmatannya.

Setelah puas menjilati sepasang ketiak tanpa noda tersebut, Bagas mengarahkan kepalanya kembali berhadapan dengan kepala Vonny. Mereka berusaha berciuman, namun gairah yang memuncak ditambah hentakan badan keduanya yang begitu kencang, membuat mereka tidak bisa mudah menyatukan bibir mereka. Akhirnya mereka saling mencium dan menjilat bagian wajah manapun dari pasangannya.

Belasan menit Bagas dan Vonny menandak-nandak di sore hari itu. Ketika Vonny minta waktu sejenak untuk mengambil nafas, Bagas justru melepaskan penisnya dari vagina Vonny dan kemudian duduk. Vonny menapatnya dengan pandangan bertanya, sementara nafasnya masih tersengal-sengal. Tanpa suara Bagas membalikkan posisi tubuh semok itu sehingga sekarang tengkurap. Vonny pasrah saja diperlakukan Bagas demikian. Kedua tangan Bagas mulai merentangkan sepasang tungkai Vonny. Dia lalu meraih pinggang gadis itu untuk sedikit diangkat.

“Pelan-pelan Gas, masih lemes banget nih”

Mendengar itu, Bagas mengurungkan niatnya untuk mengankat pinggang Vonny. Sebagai gantinya diraihnya kaki kiri Vonny, diangkatnya sedikit dan diamatinya jemari mungil yang dihiasai cat kuku warna-warni itu. Jari-jari itu begitu imut dan bersih. Tanpa ragu Bagas menjulurkan lidahnya dan menjilati jemari itu.

“Gass… jorok tau…”

Bagas tidak peduli. Jemari kaki Vonny terlihat sangat terawat. Diteruskannya menjilati jemari itu satu persatu. Diraihnya telapak kaki yang lain dan dilakukannya hal yang sama di situ. Vonny harus mengakui perlakuan Bagas itu ternyata juga terasa begitu nikmat. Puas menjilati jari-jari mungil itu, sekarang Bagas menjilati telapak kaki Vonny.

“Gasss… Gelliii… lepasin Gass…”, Vonny berseru-seru kegelian. Bagas hanya nyengir sambil meneruskan siksaannya kepada Vonny. Namun di tidak berlama-lama di situ. Lidahnya kini menjalar ke betis Vonny yang indah seperti bulir padi telah masak. Dijilatinya satu-satu betis halus tanpa rambut itu. Vonny hanya bisa mendesah-desah keenakan menikmati jilatan lidah Bagas.

Lidah tersebut belum mau beristirahat. Sekarang persendian di balik lutut Vonny yang mendapatkan giliran. Rasa geli bercampur nikmat semakin mendera, saat lidah itu semakin bergerak ke atas. Dan Bagas membawa lidah itu semakin dekat ke pusat kenikmatan Vonny saat dia menjilati sepasang paha putih dan kencang. Kepala Bagas semakin naik mendekati pantat Vonny yang begitu montok. Dikecupnya sembari digigit-gigitnya pelan sepasang bokong sekal tersebut.

Vonny yang masih tengkurap sambil mengatur nafas dan menikmati aksi lidah Bagas di sepasang tungkainya tiba-tiba tersentak. Lidah Bagas kini menyusuri belahan di antara pantatnya. Lidah tersebut berputar pelan, dari atas semakin ke bawah, sampai berjuma dengan salah satu titik rangsangannya. Lubang mataharinya berkedut menerima sapuan lidah yang basah dan hangat. Bagas mengamati sejenak anus Vonny yang begitu bersih. Dihirupnya aroma birahi kakak tingkatnya itu, lalu ditusukkannya ujung lidah di lubang yang sempit itu. Beberapa jurus lamanya lidahnya menari di pintu lubang itu. Sesekali ditekankannya ujung lidahnya, seolah hendak menerobos masuk. Hal itu membuat Vonny semakin menggelinjang, dan bibirnya kembali mengeluarkan desahan-desahan nikmat.

Bagas menyadari bahwa bukan di situlah puncak percintaan mereka. Maka diarahkannya lidahnya turun, menuju ke gerbang lain. Gerbang yang begitu indah, yang menyimpan harta kenikmatan tak terkatakan di dalamnya. Dijulurkannya lidahnya dan kembali ditelusurinya gua kenikmatan itu. Disentilnya lagi klitoris Vonny, sehingga gadis itu tidak lagi mendesah melainkan mengerang sambil sesekali memekik nikmat. Kembali dua jari Bagas menyusup ke vagina basah itu dan dikocok-kocokkannya dengan penuh sayang.

“Gass… udah… masukinn sekaranggghhh… Masuki Gas…”

Rintihan Vonny yang mendamba nikmat itu sejalan dengan nafsu Bagas yang juga semakin memuncak. Maka dengan sigap Bagas bangkit dan berlutut. Diraihnya pinggang Vonny dan sedikit diangkatnya, sementara kepala Vonny masih tergolek di atas bantal. Pelan-pelan Bagas mengarahkan penisnya ke antara kedua kaki Vonny. Sentimeter demi sentimeter batang kejantanan Bagas mulai masuk. Dirasakan vagina yang rapat itu memijat juniornya dengan begitu nikmat. Erangan Vonny mengiringi proses bersatunya kembali kedua raga mereka. Sampai akhirnya seluruh kejantanan Bagas ditelan liang kewanitaan Vonny.

Bagas sedikit membungkuk ke depan. Kedua tangannya menangkup sepasang payudara Vonny. Diremas-remasnya di dipelintirnya putting yang mengeras di puncak kedua bukit itu. Sembari merangsang Vonny di dadanya, Bagas menggerakkan pinggulnya maju dan mundur. Gerakan yang lama-lama menjadi semakin cepat, yang diimbangi dengan goyangan pinggul Vonny.

Vonny menggigiti bantal untuk meredam teriakan kenikmatan yang dirasakannya. Vaginanya terasa begitu nikmat disodok oleh batang kuat yang berurat. Remasan tangan Bagas di payudaranya membuat di semakin melayang. Dia lalu menoleh ke belakang, dan menatap Bagas dengan pandangan sayu. Bagas mendekatkan mukanya ke kepala Vonny, dan mereka berciuman dengan penuh gairah. Badan mereka menghentak tanpa henti. Setelah puas saling bertukar air liur, Bagas menegakkan badannya dan melepaskan tangannya dari dada Vonny. Tangan itu sekarang mencengkeram pantat Vonny yang begitu sekal. Sejenak payudara Vonny berayun-ayun seirama hentakan badannya. Tidak lama kemudian Vonny menangkup payudaranya sendiri dan meremas remas dengan penuh nafsu.

Seolah tanpa kenal lelah Bagas terus memacu goyangannya, mendesakkan penisnya semakin kuat di dalam vagina Vonny. Sesekali ditamparnya pantat Vonny hingga kulit putih mulus tersebut merona merah. Vonny merasakan rangsangan demi rangsangan tersebut semakin membawanya dekat ke puncak kenikmatan. Hingga pada satu waktu, jemari Bagas membelai-belai pantat montoknya. Jemari itu lalu menyusuri lembah indah di antara bokong yang sekal. Menyusuri terus sampai kelingkin Bagas menemukan anus Vonny. Vonny yang sedang membumbung karena sodokan penis di vaginanya tersentak saat jari Bagas melesak beberapa senti meter ke dalam anusnya. Jari itu menyentuh titik-titik rangsangan yang selama ini tersembunyi. Ketika jari Bagas sedikit berputar di lubang anusnya, titik tersebut mengirimkan sinyal yang tidak dapat ditahannya lagi, sinyal untuk melepaskan puncak birahinya.

“Gasss… gue nyampeee….. aarrrggghhh…”


 

Vagina Vonny berkedut kencang menyemburkan cairan orgasme, yang jauh lebih dahsyat daripada orgasme pertamanya. Kedutan vagina tersebut tak ayal meremas penis Bagas, yang juga sudah hampir di puncak kenikmatan. Tanpa bisa ditahan lagi, Bagas berteriak sambil menyemburkan air maninya,

“Vonnyyy… kammuhhh daahhssyaattthhhh….”

Dua insan sedang terbaring di atas ranjang. Tidak sehelai benang pun melekat di badan mereka. Bagas menatap langit-langit. Kepala Vonny ada di dadanya. Tangan Bagas membelai-belai rambut panjang yang halus di kepala gadis cantik itu, sedang tangan Vonny bermain-main di dada dan perut Bagas. Tungkainya yang mulus dan jenjang menjepit kaki Bagas. Ketika kakinya menyenggol penis Bagas yang sudah lemas, Vonny terkikik pelan. Dengan sengaja diteruskannya menggesek-gesek penis yang telah memberi kenikmatan kepadanya itu dengan pahanya.

“Mhhh…”, Bagas mendeseh pelan.

“Kenapa? Mau lagi?”, bisik Vonny.

“Nggak, aku lemes banget”, balas Bagas. Tangannya turun menyusuri tulang punggung Vonny, terus turun sampai bermuara di belahan pantatnya yang montok. Dimainkan sejenak jarinya di situ, lalu diremasnya mesra bulatan pantat yang kencang itu.

“Nakal”, bisik Vonny lagi.

Keduanya kembali berdiam diri, membiarkan kulit tubuh mereka yang telanjang berkomunikasi dengan caranya sendiri.

“Gas”, Vonny memecah keheningan.

“Hmmm?”

“Makasih ya”

“Buat apa?”

“Udah nganterin gue, udah nemenin gue, udah… eh…”, mendadak wajah Vonny merona, lalu dia berbisik pelan “em… mau ML sama gue”.

Bagas nyengir. Dia mencubit hidung mancung Vonny.

“Yang pertama sama yang kedua, itu udah kewajiban teman. Yang ketiga, er…, kayaknya aku yang harus makasih deh”

Vonny tersenyum, lalu mengecup dada Bagas.

“Gas”

“Hmmm?”

“Ah, Bagas gitu deh. Dari tadi cuma ham-hem-ham-hem terus”

Sambil tertawa Bagas bangkit dari tidurnya. Dia duduk bersandar di dinding kamar, sedangkan badan Vonny ditariknya hingga menyandar di tubuhnya. Vonny dapat merasakan penis Bagas dengan lembut mendesak punggungnya. Tangan Bagas menuju ke depan dadanya, dan menangkup sepasang payudaranya. Diremas-remasnya dengan lembut. Vonny sedikit menggelinjang sambil mendesah pelan. Bagas mengarahkan bibirnya ke leher Vonny yang jenjang. Dikecupnya lalu digigitnya lembut.

“Iya, aku dengerin. Mau omong apa?”

Vonny memperbaiki posisi tubuhnya. Satu tangan Bagas turun ke bawah, mengelus pahanya.

“Elu mau lagi?”

“Kan udah aku bilang, aku lemes nih Von”

“Maksud gue nggak sekarang Gas, tapi besok-besok”

Bagas membenamkan wajahnya di rambut Vonny yang lembut. Beberapa saat lamanya dia diam, menghirup aroma wangi rambut Vonny. Kemudian tangannya menggamit dagu wajah cantik itu dan diarahkan untuk bertatapan dengan dia. Sekilas dikecupnya bibir merekah itu, lalu dengan lembut namun tegas Bagas berkata,

“Von, kamu cantik dan seksi. Aku makasih sekali boleh ML sama kamu. Hari ini indah banget. Tapi kalo seterusnya, well, tubuh aku memang nggak akan nolak. Tapi mumpung kita baru ML sekali aku omong aja, soal hati aku nggak siap. Aku belum mau pacaran, belum mau bikin komitmen. Kamu tau sendiri kan hidupku kayak gimana. Kamu pasti udah denger juga ada teman-teman yang pernah ML sama aku. Aku nggak bisa langsung bertobat jadi alim, aku nggak bisa langsung setia sama satu orang saja. Aku nggak bisa jamin Von, kalau aku jadi pacar kamu sekarang, aku nggak akan ngecewain kamu”

Vonny termangu mendengar perkataan perkataan Bagas yang panjang lebar itu. Setengah berbisik dia berkata,

“Hmmm, Gas…, siang ini gue ngerasa nyaman banget. Apalagi setelah tadi siang gue nangis abis-abisan. Gue pengen ngerasa nyaman kayak gini terus. Tapi elu bener sih, terlalu cepat untuk bikin komitmen baru. Guenya aja yang mellow abis diputusin langsung pengen cari ganti.”

“Ya liat aja ntar gimana Von. Aku ngaku, udah tertarik sama kamu sejak pertama kali liat… eh… toket kamu”

Tuk! Tangan Vonny memukul pelan kepala Bagas yang ada di bahunya. Bagas terkekeh lalu melanjutkan,

“Tapi buat macarin kamu, aku belum berani Von. Aku masih bejat gini, nggak pantas buat kamu. Kamu terlalu indah untuk dipermainkan”.

Semburat merah kembali merambati wajah Vonny mendengar kata-kata Bagas. Semerah sinar matahari yang sudah mulai tergelincir ke barat, yang menembus kaca jendela kamar. Tanpa suara Vonny menegakkan tubuhnya lalu berbalik menghadap Bagas. Didorongnya pelan tubuh kekar itu hingga kembali berbaring telentang. Vonny lalu merangkak sampai kepalanya ada di atas dada Bagas yang bidang. Dijulurkannya lidahnya dan dimain-mainkannya di situ.

“Dasar Bagas buaya”, bisik Vonny pelan sambil nyengir.

“Biarin”, Bagas balas berbisik.

Jilatan Vonny bergerak turun, menyusuri tulang rusuk dan perutnya. Lidah basah itu bermain-main di pusar Bagas, yang memejamkan mata sambil mulai menggelinjang.

“Bagas playboy”, bisik Vonny lagi.

“Emangghhh…”

Lidah Vonny kembali bermain. Dari pusar mulai turun, membasahi rambut lembut di sekitar penis Bagas. Digigitnya pelan kedua biji pelir sambil diremasnya pelan.

“Bagas penjahat kelamin”, kembali bisikan Vonny terdengar.

“Mhhh… Vonn…”

Pelan-pelan Vonny merekahkan bibir indahnya. Penis yang masih setengah tegang itu dimasukkan dengan lembut ke dalam mulutnya.

Rabu, 07 Oktober 2015

Sepik2 Berhadiah Part 4






 


Sepik2 Berhadiah Part 3










Sepik2 Berhadiah Part 2










Sepik2 Berhadiah Part 1

Ni cewe udah lama gw kenal sejak zaman doi smp. udah ada ngobrol 17 tahun kesamping dan doi udahh ga Virgin lagi sejak sma. kemudian hari berkat sepik2 yang tanpa henti, gw bisa dapetin foto doi. liat aja dibawah.










Pacar Numpang Nginep